Jagad dunia pesantren tentu tidak asing lagi dengan ketokohan kiai kharismatik asal Lasem, KH Maksum Ahmad. Kiai khas pendiri pesantren Al-Hidayat, Lasem ini merupakan salah satu pendiri organisasi terbesar di nusantara, Nahdlatul Ulama (NU). Di usia senjanya kala itu, Mbah Maksum merupakan tokoh sentral dalam menentukan arah kebijakan NU. Resolusi jihad yang merupakan pionir lahirnya Hari Santri, tidak lepas dari ketokohan dan jasa-jasanya kala itu. Pada awal berdiri NU, Mbah Maksum disebut-sebut sebagai Tri Tunggal dalam pendirian NU cabang Lasem bersama dengan KH. Khalil dan KH. Baidlawi.
Perjuangan dan kecintaannya pada NU sudah seharusnya dapat dijadikan teladan dan bekal generasi sekarang dalam nguri-nguri warisan tradisi ulama’-ulama’ pendiri bangsa. Salah satu pesannya yang harus terus terpatri dalam hati dan pikiran generasi masa kini, “engkau jangan sekali-sekali membenci NU. Sebab membenci NU berarti membenci padaku. Karena NU itu saya yang mendirikan bersama-sama ulama yang lain”. Atas jasa Mbah Maksum dan ulama’-ulama’ semasanya, NU akan terus eksis dan besar dengan terus menjaga warisan tradisi ahlussunnah wal jama’ah, kini dan nanti.
Membahas kiprah seorang alim, bagaikan menimba mata air keteladanan yang tidak akan pernah kering hingga kapanpun. Mbah Maksum, selain ketokohan penting dalam tubuh NU, juga merupakan kiai pesantren yang terus dinanti-nantikan nasihat dan wejangan oleh santri-santrinya. Pesantren Al-Hidayat Lasem, pesantren yang ia dirikan satu abad yang lalu (1916.m) merupakan warisan yang akan terus mencetak kader-kader militan dalam setiap lini kehidupan bangsa.
Mbah Maksum, dalam berbagai tulisan biografinya dikenal sebagai kiai yang gemar bersilaturrahmi. Suatu ketika beliau berkunjung di Pesantren Krapyak Yogyakarta (1911.m), pesantren yang pada masa itu diasuh oleh KH. Ali Maksum yang tak lain merupakan putra sulungnya. Dalam suatu waktu (tahun 70-an), di usia senjanya Mbah Maksum berkunjung ke Krapyak. Menurut cerita salah seorang santri, Mbah Maksum ketika datang di Krapyak dalam kondisi yang sudah dipapah oleh santrinya. Hal ini menunjukkan, bahwa kala berkunjung ke Krapyak Mbah Maksum sudah sangat sepuh. Waktu itu para santri berkumpul untuk ngalap berkah kedatangan Mbah Maksum. Di hadapan santri-santri Krapyak, beliau memberikan pesan yang singkat namun terasa terpatri dalam hati santri waktu itu. “Alaikum bil istiqamah, fa innal istiqamata khairun min alfi karomah”. Pesan tersebut hingga kini masih terus diingat dan terkenang oleh santri yang secara langsung merasakan bagaimana momen indah sungkeman santri Krapyak kepada Mbah Maksum, ayah dari gurunya.
Istiqamah memang bukan perkara yang mudah untuk dilakukan, bahkan bandingan ganjaran darinya adalah seribu karomah. Maka tak heran apabila para kiai selalu menanamkan nilai istiqamah ini dalam pikiran dan tindakan para santrinya sehingga menjadi suatu watak kebiasaan yang mengakar kuat. Dalam suatu maqolah guyonan kiai, “Istiqamah memang perkara yang berat, kalau mau ringan ya istirahat saja”.
Laku istiqamah bukan hanya berlaku untuk seorang murid atau santri saja. Ia tidak terikat status sosial tertentu. Bukan hanya sebatas kalam hikmah yang sampai pada perkataan saja, namun lebih dari itu dapat direfleksikan dalam tindakan. Laku istiqamah seorang guru atau ustadz pesantren merupakan role model santri, yang kadang pula dapat menjadi hukum sosial atas sikap sembrana. Singkatnya, keteladanan merupakan cara terbaik menanamkan nilai istiqamah, bukankah Gus Mus telah berpesan “meski maksud kita baik, kata-kata sering tak tepat menerjemahkan. Maka sebaiknya kita memperbanyak contoh dan teladan yang baik”.
(Disarikan dari cerita santri Krapyak tahun 70-an, dan berbagai sumber terkait)