Oleh : Rahma Putri Kholifatul Ummah*
Marhaban Ya Ramadhan..
Kita menyambut ramadhan dengan penuh suka cita, sebab bulan ini adalah bulan yang sangat istimewa, tentu karena anugrah-angugrah Allah yang begitu melimpah tumpah dibulan mulia ini. Bulan ini begitu istimewa bukan karena tayangan televisi yang menangkap seremonial belaka, yang kemudian mengisi bulan ini dengan sinetron-sinetron Islami, suguhan-suguhan humor, dan berbagai acara yang ditayangkan hingga sahur tiba dan seabrek lakon yang sebenarnya tak ada kaitannya dengan Ramadhan.
Memang kebanyakan kita memahami momentum Ramadhan hanyalah seremonial belaka. Akibatnya apabila pertunjukkan telah selesai, selesai pula urusan kita dengan ramadhan. Tidak perlu menahan lapar, tak perlu lagi tadarus Al Quran, tak perlu lagi ke Masjid tak perlu ngabuburit, bahkan enggan berlomba-lamba lagi melakukan kebaikan.
Tentu naïf jika puasa dipahami hanya sekedar itu. Allah mewajibkan hambaNya berpuasa dengan tujuan yang mulia, dan manfaatnya akan kembali kepada diri sendiri. Dalam Al Qur’an disebutkan :
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (Q.S Al baqarah : 183).
Berdasarkan ayat di atas maka jelas tujuan puasa adalah agar manusia bertakwa. Takwa adalah kunci bagi setiap hamba yang ingin dekat dengan Allah. Takwa juga merupakan inci dari setiap amal apapun yang dilakukan. Jadi jika manusia melakukan amal tanpa didasari takwa, tiada bergunalah amal itu. Begitu juga amal puasa itu sendiri. Jika puasa yang dilakukan dengan tujuan untuk menanamkan ketakwaan pada diri setiap hamba. Namun praktik ibadah yang dijalankan tidak semestinya, maka tujuan itupun akan gagal.
Puasa merupakan salah satu pengejawantahan diri menuju pemberdayaan hidup manusia beriman. Selain itu, Syaikh Ali Ahmad Al Jurjawi dalam Hikmat Tasyri’ Wa Falsafatuhu menjelaskan mengenai hikmah puasa. Bahwa kebesaran dan keutamaan puasa sama dengan hikmah disyariatkannya rukun Islam yang lain. Hikmah tersebut bisa menjadi kebaikan untuk dunia maupun akhirat. Pun kebaikan masyarakat dan negara sebagai bekal pahala di akhirat.
Karenanya, pada dirinya, pola berpuasa telah menyimpan banyak kekayaan dalam aspek kehidupan. Terutama bagi mukminin yang mengidolakan hablumminannas dan habluminallah. Seperti aspek spiritual (Q.S. Al Ibrahim;14:34). aspek sosiologis dengan respon terhadap kehidupan sosial orang lain. Semisal bagi-bagi takjil, sahur, buka bersama yatim piatu dan fakir miskin, dan lain sebagainya. Lalu aspek kesehatan (Q.S. Al A’raf:7;31) dan aspek psikologis (Q.S. Al Alaq:96:6-7).
Disini, akan relevan jika kita utarakan hikmah di balik diwajibkan puasa Ramadhan. Agar kita memahami sepenuhnya terhadap puasa yang kita jalani. Dengan harapan pemahaman ini akan menjadi landasan bagi kita dalam menjalani ibadah puasa ini. Bisa kita awali dengan pertanyaan mengapa kita tidak diperbolehkan untuk makan dan minum dari mulai terbit fajar sampai terbenam matahari selama satu bulan ini. Sebelum menjawab pertanyaan di atas penting kita pahami bahwa makan minum merupakan bahan-bahan pokok di dalam tubuh untuk menunjang keberlangsungan hidup manusia dan merupakan sarana pemenuhan energi manusia untuk melakukan aktivitas fisik dan nonfisik.
Jika aktivitas fisik dan nonfisik hanya bisa dilakukan ketika manusia memiliki energi yang dibutuhkan untuk itu, maka berarti hal ini mencangkup terhadap segala bentuk dan sifat aktivitas. Apapun itu termasuk aktivitas yang buruk. Jadi pekerjaan seperti mencuri, menggunjing, dan semacamnya juga memerlukan energi yang tercukupi.
Kesimpulannya, jika kita mampu untuk tidak makan dan minum selama sebulan penuh, berarti kita mampu mengatasi sumber-sumber energi yang dibutuhkan untuk mengobarkan nafsu kita. Apabila faktanya kita mampu untuk mengekang sumber energi yang dibutuhkan untuk mengobarkan nafsu, itu artinya pada dasarnya kita juga telah mampu untuk mengatasi nafsu itu sendiri karena kita telah bisa melawan sumber energinya. Waallahu’alam.
*Penulis adalah Santri Komplek Nurussalam Putri Krapyak