“Santri Ngrowot” dalam Pandangan KH Ali Maksum

“Santri Ngrowot” dalam Pandangan KH Ali Maksum
Ilustrasi: Instagram @vckyyhr
Ilustrasi: Instagram @vckyyhr

“Kalian ini anak-anakku, oleh karena itu panggillah aku bapak”. Kalimat itu yang sering diucapkan oleh Beliau Yai Ali Ma’shum dalam pengajiannya kepada santri-santri di PP. Ali Ma’shum, Krapyak.

Yai Ali Ma’shum memang agak berbeda dengan yang lainnya. Beliau tidak mau dipanggil Kiai, Abah, Gus ataupun yang lain, Beliau lebih suka dipanggil Bapak.
Beliau lebih memilih dipanggil bapak karena dari situlah santri-santrinya bisa akan merasa dekat dengan Beliau.

Suatu hari, ada santri Yai Ali yang juga abdi ndalem meminta ijin untuk pulang.
Kebetulan santri itu berasal dari Jogja utara, tepatnya Sleman.

“Pak.., kulo ijin badhe wangsul riyen teng griyo”, kata Si santri.

“Ngopo mulih, Le..”, Mbah Ali menimpali.

“Wonten adicoro tenggriyo, Pak…, Njih mboten lami”.

“Oooo, yo, kono ati-ati”.

Ternyata santri itu tidak benar-benar pulang ke rumahnya.
Santri itu berkunjung ke rumah salah seorang kiai untuk sowan dan meminta ijazah.
Dalam sowan ke salah satu kiai itu, Si santri dapat amalan ngrowot dan beberapa wirid sehabis shalat. Sehabis mendapatkan ijazah, Si santri itu balik lagi ke Krapyak.

Suatu hari, Mbah Ali menemukan telo (singkong) di dapur.
“Iki telone sopo, Le?…” Mbah Ali bertanya pada Si santri.

“Telo kulo, Pak…”, Santri itu menjawabnya.

Selepas maghrib, Mbah Ali biasa mengisi ngaji untuk santri-santrinya. Dan santri yang sedang ngrowot itu datang terlambat gara-gara “nglakoni amalan” terlebih dahulu.

Suatu hari, santri itu dipanggil ke ndalem Mbah Ali dan ditanya,

“Sekarang kamu ngrowot to, Le..” tanya Mbah Ali.
“Njih, Pak”, sahut Si santri.

“Kenapa kamu ngrowot?… Kamu pengen pinter.?”…, tanya Mbah Ali dan Si santri pun diam tidak berani menjawab.

Kemudan Mbah Ali melanjutkan dhawuhnya,
“Kalau mau pinter itu mbok yao ngimbangi makan-makanan bergizi. Makan ayam, ikan, tempe, tahu…., bukan malah makan telo, nanti kamu malah tambah sulit belajarnya. Mbok yao hidup itu dinalar, Le……. Kita ini memang generasi salaf tapi kita tidak hidup di zaman dahulu…… Sekarang zaman sudah mulai berkembang dan kamu harus siap mengikuti perkembangan itu”.

Memang Mbah Ali terkenal dengan pemikirannya bagaimana supaya umat Islam mampu terus berkembang dan mampu menjawab tantangan zaman.
Bahkan di era itu, Bahasa Inggris, Ilmu Bumi dan Ilmu Ekonomi sudah menjadi bagian dari kurikulum di pesantrennya.

Sebagaimana yang dhawuh Mbah Hasyim Asy’ari, Beliau dhawuh, bahwa Nahdatul Ulama berdiri atas dua aspek.

Pertama, orang-orang NU harus menjaga tradisi orang-orang salaf, dan orang NU harus terbuka dan siap dengan sesuatu yang baru.

Dan santri yang ngrowot itu, sekarang adalah pengasuh salah satu pondok pesantren di daerah Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta.

Wallahua’lam bisshawab.
Allahuyarham, KH. Ali Ma’shum, Al-Fatihah…..

Redaksi

Redaksi

admin

502

Artikel