Dalam beberapa kesempatan, masih ditemui orang yang menggunakan barang-barang antik yang berasal dari hewan apa saja. Seperti taring, tanduk sampai kulit yang masih ada bulu atau rambut dari hewan tersebut.
Sebelumnya, apakah kita yakin akan status kesucian barang tersebut? Bagian meresahkannya ialah, ketika barang tersebut dibawa sholat atau beribadah lainnya yang mensyaratkan seseorang harus suci dari hadats dan najis, maka konsekuensinya ialah ibadahnya tidak sah. Namun, benarkah barang barang diatas itu statusnya najis?
Terhadap perkara tersebut, ulama madzhab berbeda pendapat:
- Menurut Imam Hanafi, rambut dan tulang bangkai bukan termasuk bangkai sehingga statusnya tidak najis.
- Menurut Imam Syafi’i, rambut dan tulang bangkai termasuk bangkai sehingga statusnya najis
- Menurut Imam Malik, tulang bangkai termasuk bangkai maka najis sedangkan rambut bangkai bukanlah bangkai, maka tidak najis.

Dituturkan alasan ikhtilaf (perbedaan pendapat) mereka dalam kitab Bidayah al-Mujtahid wa al-Nihayah al-Muqtashid karya Ibnu Rusyd pada masalah kedua bab kedua tentang pengertian macam-macam najis, pada bab “bersuci dari najis”. Disebutkan bahwa alasan ikhtilaf dalam menentukan status kebangkaian rambut dan tulang ialah, pemaknaan “hidup” dalam perbuatan anggota badan.
من رأى أن النمو والتغذي هو من أفعال الحياة, قال: إن الشعر الشعر و العظم ليست بميتة, لأنها لاحس لها
Pergerakan hidup ialah berupa tumbuh dan berkembang. Terhadap ulama yang berpendapat demikian, maka rambut dan tulang bukanlah bangkai, karena keduanya tidak bergerak (tumbuh dan berkembang) secara indrawi alias tidak hidup. Karena tidak hidup maka keduanya tidak akan pernah menjadi bangkai.
وممن فرق بينهما أوجب للعظام الحس ولم يوجب للشعر. و فى الحس العظام اختلاف, والأمر مختلف بين الأطباء, ومما يدل على أن التغذي والنمو ليسا هما الحياة التي يطلق على عدمها اسم الميتة…
Namun, ada ulama yang membedakan antara tulang dan rambut. Tulang dikatakan bergerak secara indrawi (hidup) sedangkan rambut tidak. Adapun terhadap pembahasan “bergeraknya” tulang, ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan dokter.
Di antaranya ada yang berpendapat bahwa tumbuh dan berkembang tidak disebut hidup karena makna “mati” (sebagai kebalikan hidup) tidak berarti tidak adanya tumbuh dan berkembang. Intinya, tulang yang tumbuh dan berkembang tidak cukup mencirikan hidup. Sehingga tulang tidak bisa dikatakan hidup atau mati layaknya rambut.
Baca Juga:
Sebagian besar ulama bersepakat bahwa sesuatu yang terpisah dari dari binatang yang hidup merupakan bangkai. Hal ini didasarkan kepada hadits nabi,
ما قطع من البهيمة وهي حية فهو ميتة
Namun, mereka bersepakat bahwa rambut yang terpisah dari sesuatu yang hidup, statusnya suci. Ibnu Rusyd menggunakan perumpamaan tumbuhan. Jika kata “mati” itu terlepas dari orang yang kehilangan tumbuh kembang, maka terhadap tumbuhan yang dicabut akan disebut bangkai, karena begitupula manusia, bagi tumbuhan juga terdapat tumbuh kembang.
Maksud “Berkembang” Menurut Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafi’i, kata “berkembang” yang dimaksud di atas, ialah perkembangan yang indrawi (dapat disaksikan dengan panca indra). Maksudnya, sesuatu tidak dapat dikatakan mati karena tidak adanya perkembangan yang dapat disaksikan secara indrawi. Maka, kemungkinan bisa dikatakan mati jika perkembangan yang tidak ada adalah perkembangan non-indrawi.
Untuk lebih jelasnya, kita dapat melihat dalil hukum yang digunakan para ulama madzhab Syafi’i yang dirangkum dalam kitab al-Muhadzdzab karangan Imam Abu Ishaq al-Syairazy pada bab tentang wadah.
Setiap hewan yang najis karena matinya (bangkai, dibedakan dari sesembelihan yang halal) maka bulu dan rambutnya juga najis. Namun, dalam melakukan ralat hukum atas penentuan kenajisan rambut mayat manusia terdapat 3 pendapat:
- Ulama Syafi’i yang tetap pada pendapat tersebut dan sepakat atas najisnya rambut bangkai, disebabkan karena antara rambut dan anggota tubuh yang lain merupakan satu kesatuan. Maka, rambut juga najis jika anggota tubuh yang lain najis.
- Rambut dihukumi najis dengan alasan seperti nomor satu dan menjadi tidak najis jika rambut tidak dapat bergerak secara indrawi dan tidak merasakan sakit sehingga ia tidak berkaitan dengan mati atau tidak.
- Semua rambut bangkai najis kecuali rambut manusia, karena manusia dimuliakan.
Jika rambut (yang najis) masuk ke air atau menempel pada pakaian, maka hukumnya dima’fu selagi jumlahnya hanya satu atau dua helai. Sebagaimana kema’fuan darah kutu di rambut. Hal ini dikarenekan sulit menghindarinya. Ini terdapat dalam komentar Imam as-Syairazi dalam kitabnya, al-Muhadzab terhadap hadits nabi mengenai Abu Thalhah yang membagikan rambut Nabi.
….قلنا انه ينجس عفي عن الشعرة و الشعرتين فى الماء والثوب لأنه لا يمكن الإحتراز منه….
Apabila menyamak kulit dan masih terdapat rambut di atasnya, maka menurut Imam Syafi’I dalam kitab al Umm, rambut tidak dapat dikatakan suci karena proses penyamakan tidak berkonsekuensi mensucikan rambut tersebut. Namun, menurut Imam Rabi’ bin Sulaiman al Jaizi, statusnya suci karena rambut itu tumbuh di atas sesuatu yang suci layaknya rambut hewan saat keadaan hidupnya.
Rambut atau Bulu yang Tercabut dari Hewan Hidup
Jika rambut diambil, dipotong atau dicabut dari hewan, ada beberapa konsekuesi hukum:
- Tidak najis, jika hewannya dapat dikonsumsi (halal).
- Najis, jika diambil dari hewan yang dagingnya tidak dapat dikonsumsi karena matinya pasti berstatus bangkai, meskipun dimatikan dengan cara disembelih.
Hewan yang dapat dikonsumsi (dagingnya), kemudian disembelih, maka seluruhnya menjadi tidak najis sebab sesembelihan itu. Selain itu, diperbolehkan mengambil manfaat dari kulit, rambut, dan tulangnya.
Namun, terhadap hewan yang haram dikonsumsi yang disembelih maka statusnya tetap najis karena menyembelih hewan yang haram dikonsumsi. Maka sekali lagi hewan tersebut tetap najis seperti najisnya ia karena mati.
Adapun status kesucian tulang, gigi, tanduk, dan kuku bangkai, ada dua pendapat:
- Suci sama seperti argumen kesucian rambut bangkai, yakni jika semuanya tidak bergerak secara indrawi dan tidak merasakan sakit.
- Sepakat atas kenajisannya
Kesimpulan:
Ketiga ulama madzhab berbeda pendapat terkait masalah status kenajisan tulang dan rambut bangkai. Ulama Hanafi berpendapat keduanya suci, ulama Maliki berpendapat tulang bangkai najis dan rambut bangkai suci dan ulama Syafi’i berpendapat bahwa keduanya najis.
Adapun dalam madzhab Syafi’i sendiri masih ada perbedaan pendapat walaupun tidak begitu kontras. Namun, dalam kitab al-Muhadzab tidak diberi keterangan mana pendapat yang lebih shohih. Hal ini menunjukkan perbedaan pendapat di madzhab Syafi’i terhadap perkara ini setara.
Akan tetapi, di bagian akhir kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid di bagian sebagaimana disebutkan di atas, Imam Syafi’i menekankan maksud nomenklatur “berkembang” atau dalam bahasa kitab disebut التغذي yang tidak disyaratkan ketiadaanya dalam kriteria “mati”, ialah berkembang secara indrawi.
Sehingga, kemungkinan bisa dikatakan mati jika perkembangan itu tidak ada bukan hanya secara indrawi, sehingga tulang atau rambut yang masih “berkembang” bukan secara indrawi dikatakan hidup. Selain itu, di antara 3 pendapat ulama Syafi’iyyah tentang status kenajisan rambut dan tulang, dua di antaranya berpendapat bahwa rambut dan tulang bangkai statusnya najis. Waallahu a’lam
Editor: Redaksi