Almunawwir.com – Mulazamah atau kontinuitas dalam belajar memang sangat perlu dipegang teguh oleh seorang santri demi meraih pencapaian kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dalam mencari ilmu, tentunya seorang santri memerlukan komponen pendukung agar ia bisa belajar, seperti halnya biaya atau ongkos sebagai bekal mencari ilmu.
Akan tetapi, seorang pencari ilmu tidak serta merta harus memerlukan biaya lebih (serba pas-pasan), sebab ada saja kejadian-kejadian di luar itu yang justru mampu bertahan dalam mencari ilmu hanya modal semangat saja.
Sebagai kisah, bahwa Imam Al-Syafi’i muda radiyallahu’anhu (150-204 H) pernah bercerita tentang kisah dirinya yang serba pas-pasan saat ingin belajar kepada gurunya, Imam Malik (93-179 H).
Perlu diketahui bahwa Imam Syafi’i kecil bukan berasal dari orang kaya. Ayahnya telah wafat saat ia masih belita. Imam Syafi’i hidup sebagai anak yatim. Meski hidup dalam kondisi ekonomi yang serba kurang. Bukan sebuah alasan Imam Syafi’i kecil menjadi malas-masalan.
Ia justru tumbuh menjadi sosok yang sangat rajin belajar. Imam Syafi’i kecil mengumpulkan apa saja yang bisa menjadi media tulisan.
Seperti kumpulan tulang-tulang kambing dan unta dari bekas jamaah haji di Mina, pelepah kurma kering, bebatuan, atau kertas-kertas yang sudah tidak layak pakai.
Baca juga:
Singkat cerita, saat menginjak usia 20 tahun, Imam Syafi’i melangkahkan kakinya menuju Madinah, salah satu kota yang menjadi pusat keilmuan. Madinah saat itu, banyak dihuni para tabi’in dan tabi’ tabi’in.
Sesampai di Madinah, Imam Syafi’i datang ke kediaman Imam Malik.
Setelah berada di kediaman gurunya, Imam Syafi’i duduk dan bergabung dalam halaqah (perkumpulan) Imam Malik. Saat itu beliau melihat Imam Malik tengah mendikte (imla’) 18 hadis dari kitab monumentalnya, Al-Muwatha’ kepada murid-muridnya.
Imam Syafi’i muda waktu itu datang belakangan, berada di belakang para murid. Imam Malik yang sedang mendikte hadis-hadis memperhatikan kepada murid-muridnya yang tengah menulis ulang apa yang disampaikan gurunya.
Saat Imam Malik melihat ke setiap murid-muridnya, pandangannya terhenti pada sosok pemuda yang datang belakangan tadi.
Bukan sebab tertentu, Imam Malik fokus pandangannya kepada pemuda itu sebab ada perkara yang bikin penasarannya.
Yaitu tampak pemuda itu tengah menulis-nulis menggunakan jari telunjuknya pada telapak tangannya.
Baca juga:
Akhirnya, setelah majelis ilmu itu selesai dan murid-murid Imam Malik meninggalkannya. Segera Imam Malik mengundang sosok pemuda tadi. Lalu Imam Malik menanyakan kepada pemuda itu asal lahir, nama, dan nasabnya.
Imam Syafi’i muda pun menjawab pertanyaan-pertanyaan apa yang ditanyakan gurunya. Sebab penasaran atas kejadian tadi, Imam Malik bertanya kepadanya:
“Tadi saya melihat kamu sedang mencoret-coret menggunakan jari telunjuk pada telapak tanganmu, apakah benar?”
“Tidak, hanya saja saat engkau mendiktekan hadis-hadis Nabi, saya berandai-andai tengah mencoret-coretnya pada telapak tanganku agar bisa saya hafal.
Bila engkau berkenan mengulang kembali apa yang engkau diktekan, saya bersedia?” jawab Imam Syafi’i muda dengan penuh keyakinan.
“Silahkan, coba kamu bacakan kembali” tanya Imam Malik atas penasarannya pada pemuda yang tatapannya itu penuh keyakinan.
Imam Syafi’i pun membacakan kembali 18 hadis dengan sama persis apa yang disampaikan sebelumnya oleh gurunya. Sontak Imam Malik kagum dengan kuat hafalannya.
Ia meminta kepada Imam Syafi’i agar lebih mendekat lagi. Lantas Imam Malik berkata:
“Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah Swt. dan jauhi kemaksiatan. Sungguh, kelak engkau akan menjadi orang yang besar” Pungkas Imam Malik.
Selama 7 tahun belajar bersama gurunya itu, suatu saat apa yang diprediksikannya betul terjadi. Dan Imam Syafi’i merupakan salah satu pendiri madzhab yang ajaran-ajarannya tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Dari kisah di atas, dapat kita ambil pelajaran bahwa kontinuitas dalam belajar sangat diperlukan bagi setiap santri.
Sebab dengan tekun dan semangat belajar bersama guru meskipun dalam kondisi pas-pasan atau kekurangan akan ada saja jalan kemudahannya.
Referensi: kitab tadzkirun-nas, hal. 281 dari kitab al-sanatir, hal. 6 dan buku kitab kuning (tapak sejarah).