Diskusi Pesantren dan Post-Truth, Dr. Moch Nur Ichwan : Memahami Identitas Pesantren dan Kampanye Islam Moderat adalah Modal Utama Santri
Krapyak – Arus informasi, dalam perkembangan teranyar, kini menikam titik nadir manusia. Fakta dan opini berjibaku dan berseliweran di dinding media sosial yang menjadi saluran utama persebaran informasi. Arusnya tak terbendung. Sebab produksi informasi, kini kian diminati oleh banyak kalangan dari banyak kepentingan.
Informasi lantas menjejaki hal dasar manusia yaitu keingin-tahuan. Segala soal disajikan. Akhirnya, informasi tidak jauh nasibnya dengan parade komentar-komentar yang saling bersahut-sahutan. Baik itu berupa pujian, gagasan-gagasan cemerlang, kritik dan saran ataupun fitnah dan ujaran kebencian.
Ha ini berimbas pada apa yang belum lama ini dirasakan oleh pihak Pesantren Al Munawwir yaitu hoaks. Dalam kasus ini pihak Jpnn mencatut nama baik KH Najib Abdul Qodir, menyebut akan mengultimatum Jokowi jika tidak mendeklarasikan Cak Imin sebagai Cawapres.
Itu hanya segelintir contoh. Sebab masih banyak lagi kasus hoaks yang diproduksi di era informasi ini.
Persolannya kemudian, apakah masyarakat pesantren sanggup menghadapi era disruptif informasi ini? Perangkat dasar inilah yang memantik Lembaga Kajian Islam Mahasiswa komplek H untuk mendiskusikan secara serius mengenai “Tantangan Intelektualisme Pesantren di Era Pasca Kebenaran (Post-Truth)
Baca Juga : Membendung Paham Radikal, Sahal : Santri Perlu Formulasi Jitu
Moch. Nur Ichwan, Narasumber yang juga Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga mencoba menjawab dengan memulai pembahasannya mengenai genealogi keilmuan pesantren.
“Modal utama yang kita (santri) miliki adalah warisan-warisan dari para leluhur kita.” Ujar Pak Ichwan sembari memperlihatkan slide-nya berisi tradisi keilmuan pesantren dari Rasulullah sampai Pesantren Tegalsari.
“Mulai dari kitab-kitab turats hingga gerakan para ulama dan kiai dalam memperjuangkan ideologi Islam Washatiyyah dan kedaulatan bangsa Indonesia.” Imbuh alumni komplek H Ali Maksum tersebut.
Dengan pembawaan santai, beliau memaparkan secara detail akar ideologis dan historis pesantren di nusantara. Selain memproduksi kitab-kitab berbahasa Arab, banyak ulama-ulama nusantara juga membahasakan kitab dengan bahasa Jawa, seperti KH Sholeh Darat, KH Bisri Mustofa, dan lain sebagainya.
Selain itu, banyak ulama kita mencoba untuk bergerak lewat jalur penulisan. Mereka banyak mengomentari isu-isu terkini dan memberikan gagasan-gagasan cemerlang mengenai kondisi bangsa lewat menulis di media massa. Sejauh ini, cara seperti inilah yang patut kita pertahankan.
Baca Juga : Prof. Dr. M. Chirzin : Pesantren adalah Cagar Budaya Islam dan Persemaian Kader Ulama
Pak Ichwan juga memberikan formulasi bagi santri dalam ikhtiar membangkitkan intelektualisme pesantren di era kontemporer ini. Bahwasannya santri harus tetap melanggengkan kaidah “al muhafadzatu ala qodimi ash-sholih wal akhdzu bi al jadidi al ashlah” menjaga tradisi lama yang baik, sembari menyeleksi tradisi-tradisi baru yang dirasa cukup baik.
“Santri harus meneguhkan pendirian dalam mengampanyekan Islam Washathiyah atau Islam moderat yang berprinsip: tasamuh (toleransi), tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (seimbang).”
Diskusi yang diselenggarakan di aula komplek H Ali Maksum tersebut dihadiri oleh puluhan santri dari berbagai komplek di Pesantren Krapyak. Turut hadir dalam acara itu adalah KH Afif Muhammad (Pengasuh komplek H), KH Mushlih Ilyas dan dewan asaatidz lainnya. Acara kemudian ditutup dengan doa yang dibawakan oleh KH Mushlih Ilyas. (aq)