Etika Bersosial Media dalam Perspektif Hermeneutika Al-Qur’an

Etika Bersosial Media dalam Perspektif Hermeneutika Al-Qur’an

Pendahuluan

Almunawwir.com-Revolusi teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia. Kecerdasan buatan, media sosial, rekayasa genetika, hingga eksplorasi luar angkasa memperluas cakrawala peradaban. Namun, di balik kemajuan ini, muncul pula berbagai tantangan etis: pelanggaran privasi, penyebaran hoaks, disinformasi, eksploitasi data, hingga dampak psikologis dan sosial yang meresahkan. Dalam konteks ini, diperlukan pandangan moral dan spiritual yang lebih dalam untuk menilai arah dan penggunaan teknologi secara bijak.

Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk hidup umat Islam tidak berbicara secara langsung tentang teknologi modern, namun sarat dengan nilai-nilai etis universal. Dengan menggunakan pendekatan hermeneutika Al-Qur’an, kita dapat menggali prinsip-prinsip moral dari ayat-ayat suci untuk memahami dan merespons perkembangan teknologi secara kontekstual dan relevan.

Pendekatan Hermeneutika Al-Qur’an

Hermeneutika adalah ilmu tafsir yang menekankan pemahaman teks secara mendalam, dengan memperhatikan konteks historis, bahasa, niat ilahi, serta situasi pembaca masa kini. Dalam hermeneutika Al-Qur’an, ayat tidak hanya dipahami secara literal, tetapi juga ditafsirkan dalam semangat nilai-nilai dasarnya (maqāṣid asy-syarī‘ah) — seperti keadilan, kebaikan, dan rahmat bagi seluruh alam.

Tokoh-tokoh seperti Fazlur Rahman menganjurkan double movement (gerakan ganda): pertama, kembali ke konteks sosio-historis turunnya ayat; kedua, membawa makna dasarnya ke konteks kekinian.

Etika Teknologi dalam Al-Qur’an: Pendekatan Tematik-Hermeneutis

Meski tidak membahas teknologi secara eksplisit, Al-Qur’an memberikan landasan moral yang sangat relevan. Berikut ini beberapa prinsip etika teknologi yang saya ambil dan digali dari nilai-nilai Al-Qur’an melalui pendekatan hermeneutika:

  • Prinsip Amanah dan Tanggung Jawab (Accountability)

اِنَّا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْاِنْسَانُۗ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ 

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, lalu semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh.” (QS. Al-Ahzab [33]: 72)

Baca Juga: Dari Big Data Mengajak ke Renungan Teologi dan Alam Semesta

Dalam konteks teknologi, hermeneutika menjelaskan  amanah berarti bahwa kemampuan manusia untuk menciptakan dan memakai teknologi adalah bentuk kepercayaan dari Tuhan. Karena itu, setiap inovasi teknologi harus digunakan dengan rasa tanggung jawab, tidak hanya mengejar keuntungan, tapi juga memperhatikan dampak sosial dan moralnya.

  • Prinsip Keadilan dan Kemaslahatan

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ 

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl [16]: 90)

Menurut pandangan hermeneutika, ayat ini menjelaskan bahwa teknologi seharusnya digunakan untuk menciptakan keadilan sosial, bukan malah memperbesar kesenjangan atau menyebabkan diskriminasi melalui algoritma. Karena itu, teknologi perlu dirancang dengan etika yang memastikan semua orang bisa mengaksesnya secara adil, inklusif, dan memberi manfaat bagi banyak orang.

  • Prinsip Tidak Menyebarkan Kerusakan (Fasad)

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik oleh Allah.” (QS. Al-A’raf [7]: 56)

Dalam pandangan hermeneutika, ayat tersebut bisa dipahami dari sudut pandang lingkungan dan dunia digital. Artinya, kerusakan yang ditimbulkan oleh teknologi — seperti merusak alam, menambah sampah digital, atau menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan — adalah bentuk kerusakan modern yang harus dihindari. Contohnya, teknologi seperti deepfake yang digunakan untuk menyebarkan kebohongan dan fitnah juga termasuk dalam kategori kerusakan ini.

Baca Juga: Media Sosial Lahirkan Paham Radikalisme: Tantangan dan Solusi

  • Prinsip Privasi dan Martabat Manusia

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَدْخُلُوْا بُيُوْتًا غَيْرَ بُيُوْتِكُمْ حَتّٰى تَسْتَأْنِسُوْا وَتُسَلِّمُوْا عَلٰٓى اَهْلِهَاۗ 

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (QS. An-Nur [24]: 27)

Dalam pandangan hermeneutika, ayat ini mengajarkan pentingnya menghargai privasi dan kehormatan setiap orang. Di zaman digital sekarang, nilai ini bisa diterapkan dalam bentuk perlindungan data pribadi. Jadi, mengakses atau mengintip data orang lain tanpa izin dianggap sebagai pelanggaran etika dan bertentangan dengan ajaran tersebut.

Penutup

Dengan menggunakan pendekatan hermeneutika, kita tidak hanya memahami “apa” yang tertulis dalam teks, tetapi “mengapa” nilai itu penting dan “bagaimana” menghidupkannya dalam realitas kekinian. Etika digital dalam Islam bukan soal haram atau halal semata, tetapi soal integritas, tanggung jawab, dan kemaslahatan publik. Prinsip-prinsip seperti niat (niyyah), timbang rasa (taqwa), dan pertanggungjawaban akhirat menjadi kompas dalam mengembangkan teknologi yang memanusiakan manusia.

Teknologi adalah alat, bukan tujuan. Maka, ia harus diarahkan oleh nilai. Pendekatan hermeneutika Al-Qur’an mengajarkan bahwa nilai-nilai Qur’ani seperti keadilan, amanah, dan kemaslahatan adalah fondasi etika dalam menggunakan dan mengembangkan teknologi. Dengan memahami Al-Qur’an secara kontekstual dan reflektif, umat Islam dapat berkontribusi dalam membangun peradaban digital yang etis, adil, dan berkelanjutan.

Penulis: Rajif Fitrian Miftahun Nida

Redaksi

Redaksi

admin

545

Artikel