Guru Menulis yang Mencetak Generasi Santri Penulis (Renungan Jelang Haul Al-Maghfurlah KH. Zainal Arifin Thoha)

Guru Menulis yang Mencetak Generasi Santri Penulis (Renungan Jelang Haul Al-Maghfurlah KH. Zainal Arifin Thoha)


Oleh : M. Azkiya Khikmatiar*

Almarhum KH. Zainal Arifin Thoha merupakan guru menulis yang mencetak generasi santri penulis. Lahir di Kediri, 5 Agustus 1972 dengan latar keluarga pesantren. Ayahnya seorang kiai bernama KH. Moch. Thoha dan ibunya Hj. Solihatun. Suami dari Maya Veri Oktavia dan sosok ayah teladan bagi lima putra-putrinya.

Belum genap berusia 35 tahun, tepatnya pada 14 Maret 2007, alm. Gus Zainal berpulang ke haribaan Allah Swt selepas sholat Isya’ berjamaah. Sontak jagat Jogja dikagetkan dengan kabar duka dari kediaman beliau, terlebih di kalangan penulis. Tangisan keluarga, sanak saudara, kerabat, dan juga para santri serta masyarakat sekitar menambah suasana kesedihan yang mendalam.

Sebagaimana tulis alm. Gus Zainal bahwa, “Aku menulis maka aku ada.”, meski 11 tahun berlalu tanpa kehadirannya secara fisik, tapi berkat tulisan-tulisannya beliau tetap ada di hati semua orang. Hal ini terbukti dengan diadakannya haul setiap tahun sejak kepergiannya sebagai bentuk peringatan akan jasa-jasa mulianya terutama dalam melestarikan budaya baca tulis di kalangan pesantren.

Tulisan Sebagai Warisan

Tepat di halaman pertama dalam buku Aku Menulis Maka Aku Ada (2005) alm. Gus Zainal mengutip perkataan Imam al-Ghazali sebagai berikut, “Kalau engkau bukan anak raja, dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis.”

baca juga : Wirid Ayat Limo”

Jika menilik sejarah ulama Indonesia, kita menemukan nama-nama besar seperti KH. Nawawi al-Bantani, KH. Kholil al-Bangkalani, KH. Mahfudz at-Tarmisi, KH. Ihsan al-Jampesi, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Mustofa, KH. Sholeh Darat, KH. Ali Ma’shum, dan KH. Saifuddin Zuhri, kesemuanya menulis kitab-kitab rujukan umat Islam yang sampai sekarang masih dikaji baik di kalangan pesantren, akademisi, maupun masyarakat umum.

Dengan cara yang sama yakni menulis, alm. Gus Zainal mewariskan ilmu-ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya dengan terus menulis dalam berbagai bentuk. Bukti bahwa beliau merupakan penulis produktif di antara para penulis Yogyakarta waktu itu, sering munculnya tulisan beliau di berbagai media massa lokal dan nasional. Tulisan-tulisan beliau tersebar luas mulai artikel, opini, kolom, resensi buku, esai sastra, puisi sampai cerpen.

Berkat keluasan ilmu dan cara pandang alm. Gus Zainal tentang kehidupan, beliau dikenal tidak hanya sebagai penulis buku, melainkan orang-orang yang mengenalnya juga menyebutnya sebagai kiai, mubaligh, akademisi, aktivis, dan budayawan.

Tiga Nilai Keteladanan

Awal tahun 2000 alm. Gus Zainal yang seorang alumnus Tebuireng, Jombang bersama D. Zawawi Imron merintis Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari. Pesantren tersebut didirikan dengan tujuan menempa santri-santrinya hidup mandiri dan mengakrabi dunia kepenulisan.

Seiring waktu, Pesantren Hasyim Asy’ari dikenal masyarakat luas sebagai Pesantren menulis. Sehingga lambat laun namun pasti, santri-santri asuhan almarhum yang kemudian membentuk Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) atau kini dikenal dengan nama komunitas Kutub, karya-karyanya kerap terbit di koran. Untuk menyebut beberapa nama penulis asuhan beliau yang bahkan sampai sekarang tetap menulis di antaranya Joni Ariadinata, Muhidin M. Dahlan, Muhammadun AS, Ahmad Mukhlis Amrin, Salman Rusydie Anwar, Gugun el-Guyanie, M. Yunus BS, A. Yusrianto, dan Bernando J. Sujibto.

Bidang kepenulisan yang alm. Gus Zainal tekuni berpedoman pada tiga prinsip menjadi penulis, ketiganya adalah spiritualitas, intelektualitas, dan profesionalitas. Tiga prinsip ini yang kemudian diterapkan juga dalam menanamkan pendidikan karakter pada diri santri-santrinya. Sehingga para santri selain belajar menulis, juga mengkaji kitab-kitab klasik, ziarah kubur, majelis dzikir, shawalat, barzanji, diskusi masalah sosial kemasyarakatan, dan menjalani profesi dengan totalitas.

baca juga : Kisah Dibalik Kerudung Lokal, Terdapat Otak Internasional”

Tidak heran kemudian jika ciri kemandirian para santri terpatri kuat dalam diri setiap santri alm. Gus Zainal. Karena dalam menyambung hidup, mereka dibekali kemampuan percaya diri tinggi dan pantang bergantung orang lain, meski dari bantuan orang tua sekalipun.

Sebagai santri yang bertugas meneruskan estafet perjuangan ulama, semestinya kita juga harus meneladani alm. Gus Zainal dengan mempraktekkan kebiasaan beliau membaca buku sebelum tidur dan bertekad tidak akan meninggal sebelum menulis banyak buku yang bermanfaat.

*Penulis adalah santri Madrasah Huffadh II yang sedang menempuh pendidikan Pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga.
**kontestan Lomba Parade Menulis memperingati Haul Al Maghfurlah K.H.M. Moenawwir bin Abdul Rosyad ke 49

Redaksi

Redaksi

admin

522

Artikel