Mengapa Gaji Guru Ngaji Rendah? Tinjauan Ibnu Khaldun

Mengapa Gaji Guru Ngaji Rendah? Tinjauan Ibnu Khaldun

Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Namun, ironisnya, penghargaan terhadap guru ngaji masih sangat rendah. Menteri Agama Nasaruddin Umar pernah mengatakan: “Penelitian membuktikan bahwa dari 928.000 guru ngaji, 40 persen hanya menerima gaji Rp100.000 per bulan. Apakah orang bisa hidup dengan 100.000 rupiah per bulan? Itulah nasib guru ngaji.” Pernahkah Anda bertanya-tanya, bagaimana bisa di negara yang begitu religius, penghargaan kepada guru ngaji justru sangat rendah?

Lebih dari 800 tahun lalu, sosok bapak sosiologi dari Tunisia, Ibnu Khaldun, telah membahas fenomena ini dalam magnum opusnya, Al-Muqaddimah. Salah satu pasal dalam buku tersebut diberi judul “Orang-orang yang Menangani Urusan-urusan Keagamaan seperti Pengadilan, Pemberian Fatwa, Pengajaran, Imam, Khutbah, dan Adzan, serta yang Lain, Biasanya Tidak Memiliki Banyak Kekayaan.” Pada pasal tersebut, beliau menjelaskan bahwa nilai dari suatu pekerjaan itu berbeda-beda tergantung besar-kecilnya kebutuhan. Apabila pekerjaan tersebut sangat dibutuhkan dalam sebuah peradaban, dan menarik perhatian masyarakat secara umum, maka nilainya jauh lebih tinggi.

Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun

Menurut Ibnu Khaldun, profesi yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan material masyarakat cenderung lebih dihargai secara ekonomi. Sebaliknya, mereka yang menangani urusan keagamaan biasanya tidak begitu dibutuhkan oleh masyarakat. Mereka hanya dibutuhkan ketika ada orang yang memiliki kepentingan tertentu. Akibatnya, upah mereka sangat rendah karena penghasilan mereka bergantung pada sejauh mana masyarakat merasa butuh dan bergantung pada mereka.

Lebih lanjut, Ibnu Khaldun juga mencatat bahwa orang-orang yang mendalami urusan keagamaan cenderung sibuk mengurusi keilmuan atau keahlian yang dimiliki. Sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk mengejar kesenangan duniawi, karena lebih fokus menjaga kemuliaan ilmu yang mereka miliki. Dengan realita seperti ini, maka biasanya kekayaan mereka tidak melimpah.

Apakah Masyarakat Indonesia Merasa Butuh Guru Ngaji?

Mari kita coba lihat kondisi di Indonesia: apakah masyarakat benar-benar merasa membutuhkan guru ngaji? Jika menggunakan analisis Ibnu Khaldun, tingkat kebutuhan peradaban terhadap suatu pekerjaan dapat dilihat dari upah atau nilai yang diberikan masyarakat pada pekerjaan itu. Lalu, seberapa tinggi penghargaan masyarakat pada guru ngaji? Mengapa upah guru ngaji kecil sekali? Apakah masyarakat kita tidak butuh guru ngaji?

Mungkin jawaban yang paling tepat adalah masyarakat bukannya tidak butuh, tetapi tidak merasa kalau butuh. Faktanya, kemampuan membaca Al-Qur’an masih dianggap penting dalam masyarakat Muslim. Seseorang yang tidak bisa mengaji sering kali merasa malu, bahkan dianggap tabu. Oleh karena itu, banyak orang tua yang mengirimkan anak-anaknya ke guru ngaji agar bisa membaca Al-Qur’an dengan baik. Namun, di sisi lain, meskipun mereka menggunakan jasa guru ngaji, mereka tidak menganggapnya sebagai kebutuhan yang harus dihargai secara ekonomi.

Masyarakat masih berpandangan bahwa guru ngaji harus mengajar dengan penuh keikhlasan dan menerima bayaran berapa pun, bahkan tanpa bayaran sama sekali. Ungkapan seperti “Mengajar ngaji itu ibadah, jangan mengharap bayaran” telah menjadi budaya yang mengakar. Padahal, ikhlas tidak berarti meniadakan penghargaan material, dan salah satu cara memuliakan guru ngaji adalah dengan memberikannya upah yang layak. Jika seorang guru les piano bisa dihargai dengan bayaran tinggi, mengapa guru ngaji yang juga mengajarkan keterampilan psikomotorik tidak mendapatkan penghargaan yang sama?

Rendahnya Upah Guru Ngaji, Cermin Kesadaran Peradaban

Ibnu Khaldun menegaskan bahwa peradaban yang maju adalah peradaban yang memahami dan menghargai kebutuhan spiritual serta intelektualnya. Jika masyarakat hanya mengutamakan kebutuhan material tanpa memberikan tempat yang layak bagi pendidikan agama, maka peradaban itu berisiko mengalami kemunduran.

Rendahnya penghargaan masyarakat Indonesia terhadap guru ngaji dapat dilihat salah satunya dari minimnya upah yang diberikan. Hal ini karena masyarakat tidak merasa butuh pada guru ngaji, padahal realita menunjukkan sebaliknya.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita membangun kembali kesadaran bahwa menghargai guru ngaji bukan hanya dengan ucapan terima kasih, tetapi juga dengan penghargaan yang lebih layak secara ekonomi. Sebab, seberapa tinggi perhatian kita terhadap guru ngaji mencerminkan seberapa besar kebutuhan peradaban kita terhadap ilmu agama.

Jangan sampai peradaban kita kehilangan rasa butuh terhadap ilmu agama hanya karena kita mengabaikan orang-orang yang mengajarkannya. Mari kita bangkitkan kembali penghargaan terhadap guru ngaji, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan nyata.

M. Wahyudi Azzukhruf

M. Wahyudi Azzukhruf

Wahyudi

Peminat kajian agama, sejarah, dan pendidikan

7

Artikel