Almunawwir.com-Pergeseran makna dalam bahasa dan budaya adalah fenomena yang tak terelakkan seiring dengan perubahan zaman. Makna sebuah kata atau konsep dapat berubah seiring dengan perubahan nilai, norma, dan konteks sosial-politik suatu masyarakat.
Dalam beberapa tahun terakhir, salah satu fenomena menarik yang dapat dianalisis adalah pergeseran makna dari konsep “taubat” ke “hijrah”, khususnya dalam kaitannya dengan perubahan sosial-politik di tengah masyarakat.
Istilah “hijrah”menjadi semakin populer di Indonesia, terutama di kalangan kaum muda. Secara harfiah, hijrah merujuk pada perpindahan atau migrasi. Namun, dalam konteks sosial-politik di Indonesia, istilah ini mengalami pergeseran makna menjadi berubahnya seseorang menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Berbicara mengenai Hijrah dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
وَمَن يُهَاجِرۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُرَٰغَمٗا كَثِيرٗا وَسَعَةٗۚ وَمَن يَخۡرُجۡ مِنۢ بَيۡتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدۡرِكۡهُ ٱلۡمَوۡتُ فَقَدۡ وَقَعَ أَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمٗا
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Surah An-Nisa’ ayat 100)
Ayat yang menjelaskan tentang hijrah di dalam Al-Qur’an selain ayat di atas masih banyak lagi, akan tetapi sejauh pengamatan penulis, tidak ada yang menjelaskan secara spesifik bahwa hijrah merupakan suatu proses perpindahan suatu individu dari buruk kepada baik, melainkan menerangkan berpindahnya nabi Muhammad kepada kota Madinah. Karena jika melihat fenomena hijrah dahulu, merupakan perpindahan suatu kelompok ataupun individu dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Dilihat dari arti kata hijrah mempunyai arti pindah (Warson, 1997, hal. 1483), sedangkan secara istilah kata hijrah merupakan berpindahnya seseorang ke suatu tempat yang baru, atau bisa disebut dengan sebutan migrasi.
Baca Juga:
Dalam sejarahnya, peristiwa fenomena hijrah bermula pada saat Nabi Muhammad pindah (hijrah) pada tahun 622 Masehi dari Kota Makkah ke Kota Madinah. Alasan Nabi Hijrah menurut M. Haris dkk (2010, hlm. 261) karena adanya upaya pembunuhan terhadap nabi dan penindasan dari orang-orang Musyrik Quraisy kepada Nabi beserta para sahabatnya.
Namun, setahun sebelum nabi melakukan hijrah, terdapat sahabat beserta keluarganya yang hijrah terlebih dahulu yaitu Abu Salamah ke Ethopia atas anjuran Nabi Muhammad. Dari hal ini sudah jelas bahwasannya dalam sejarahnya hijrah merupakan suatu perpindahan seseorang atau kelompok dikarenakan adanya sesuatu yang membahayakan.
Hal ini berbeda dengan hijrah saat ini, yang lebih sering dikaitkan dengan perubahan gaya hidup menjadi lebih baik, dalam aspek berpakaian, dan aktivitas sehari-hari, menuju ke arah yang lebih religius dan islami. Di mana menurut penulis hal seperti ini lebih pas jika menggunakan kata taubat daripada kata hijrah. Kata “taubat” sendiri, merujuk pada tindakan koreksi diri dan perbaikan moral dalam konteks agama. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt di dalam Al-Qur’an:
إِنَّمَا ٱلتَّوۡبَةُ عَلَى ٱللَّهِ لِلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلسُّوٓءَ بِجَهَٰلَةٖ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٖ فَأُوْلَٰٓئِكَ يَتُوبُ ٱللَّهُ عَلَيۡهِمۡۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمٗا
Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. Surah An-nisa’ayat 17)
Dalam Islam, taubat merupakan upaya untuk “kembali” kepada Tuhan, mengakui dosa, dan berkomitmen untuk mengubah perilaku menuju kebaikan, juga memberikan penekanan pada dimensi spiritual dan etika dalam proses perubahan individu. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw:
عَنْ أَنَسِ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Dari Anas radiyAllahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallAllahu alaihi wasallam bersabda, “Setiap manusia pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertobat”( Al-Tirmidzi 2499)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّيْ أَتُوْبُ فِيْ اليَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kepada Allah dan memohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya aku bertaubat dalam sehari sebanyak 100 kali ” (HR. Muslim No. 2702)
إنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ العَبْدِ مَالَمْ يُغَرْغِرْ
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba, selama (nyawanya) belum sampai di kerongkongan. “ (HR. Muslim no.7165)
Dari firman Allah dan sabda Nabi Muhammad di atas, kata taubat lebih tepat digunakan daripada kata hijrah, jika berbicara perubahan individual atau kelompok menjadi lebih baik dikarenakan melihat maknanya pun lebih pas dan cocok kata taubat, daripada kata hijrah.
Di dalam kitab Tajul Arus, Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari menguraikan dua metode tobat yang dapat diambil oleh seorang hamba: Pertama, melalui introspeksi (al-muhasabah), dan kedua, dengan mengikuti teladan Rasulullah (al-Ittiba’). Di mana menurut penulis ini juga menjadikan alasan kenapa lebih pas menggunakan kata taubat daripada hijrah. (Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari, 2015)
Namun, seiring dengan perubahan zaman dan dinamika sosial-politik, terjadi pergeseran dalam interpretasi dan praktik taubat menjadi hijrah.
Urbanisasi dan globalisasi menjadi salah satu penyebab berubahnya cara pandang dan pola hidup masyarakat di Indonesia. Para pemuda yang mencari arti hidup dalam zaman modern tertarik pada konsep “hijrah”sebagai alternatif, karena pengaruh global.
Perubahan ini juga bisa diartikan sebagai respons terhadap isu sosial-politik yang bertentangan dengan nilai agama. Tren “hijrah”bisa juga sebagai ekspresi politik identitas atau pemanfaatan agama untuk keuntungan komersial.
Media sosial, misalnya, memainkan peran penting dalam mempopulerkan tren “hijrah,” kadang-kadang mengkampanyekan pandangan sempit dan normatif tentang bagaimana seharusnya seseorang menjalani kehidupan islami. Seperti contoh semakin masifnya para artis atau publik figur yang menjadi brand ambassador tren hijrah di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ceramah para pemuka agama yang menggunakan media sosial.
Pergeseran makna dari taubat ke “hijrah”mencerminkan dinamika yang kompleks dalam masyarakat Indonesia. Perubahan sosial-politik dan tuntutan identitas telah membentuk interpretasi baru terhadap konsep agama. Namun, perlu diingat bahwa pergeseran makna ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Setiap interpretasi dan praktik mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan sosial, politik, dan budaya yang ada.
Dalam menganalisis fenomena ini, penting untuk memahami bahwa makna tidaklah statis. Masyarakat terus berkembang, dan konsep-konsep seperti “taubat” dan “hijrah” dapat terus mengalami perubahan makna sesuai dengan kebutuhan dan konteks zaman. Oleh karena itu, pergeseran makna ini dapat dianggap sebagai refleksi dari kekayaan budaya dan dinamika sosial-politik yang ada di Indonesia
Taubat, yang dalam pandangan agama merujuk pada pengakuan dosa dan pertobatan kepada Allah, mengalami transformasi makna menjadi “hijrah,” yang sebelumnya mengacu pada perpindahan fisik, namun kini juga mencerminkan perubahan dalam perilaku dan identitas. Pergeseran makna ini memiliki implikasi yang mendalam dalam perspektif sosial dan politik di Indonesia.
Tren “hijrah” kini terlibat dalam politik, membentuk jenis masyarakat khusus. Istilah ini populer di kalangan generasi muda, terutama yang terampil dalam menggunakan media sosial. Mereka gunakan “hijrah”untuk membangkitkan minat pada agama, terutama di kalangan muslim yang mengikuti madzhab salafi, sebagai cara menyebarkan ajaran agama.
Dalam sisi politik, pergeseran makna ini menunjukkan bagaimana agama bisa jadi alat pengaruh. Kelompok yang menggunakan “hijrah” dalam politik ingin mempengaruhi pandangan dan perilaku masyarakat. Ini menunjukkan agama sebagai alat mencapai tujuan politik, seperti mendapat dukungan atau membangun citra.
Perlu diingat bahwa perubahan makna ini tak selalu negatif. Fenomena “hijrah” sebagai gaya hidup atau transformasi sosial bisa juga mencerminkan usaha individu atau kelompok untuk memperbaiki diri dan menguatkan identitas agama. Namun, masalah muncul saat perubahan hanya pada penampilan fisik atau tindakan yang terlihat, tanpa diiringi dengan perubahan yang lebih mendalam dari dalam hati.
Referensi:
- Ash-shiddieqy, Hasbi. 2022. “Relasi Hijrah Dan Taubat Prespektif Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur.”
- Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari, Farhatun Nufus bi Syarhi Tajul Arus, [Beirut: Dar al-Kutub 2015], h. 17.
- Munawwir, Ahmad Warson. ([1984]). Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.
Penulis: M. Isbat Alfan Ghoffari
(Santri Komplek Madrasah Huffadh 1)