Meng(k)aji Wadzāif al-Muta’allim

Meng(k)aji Wadzāif al-Muta’allim

Meng(k)aji Wadzāif al-Muta’allim
Menyoal Fondasi Etis dan (Re)orientasi terhadap Ilmu

Oleh: Imam Ghozali dan Ahmad Musthofa Haroen

Sekadar Mukadimah
Makalah sederhana ini ingin dimulai dari kemauan dan kesadaran untuk ambil bagian dalam menghidupkan, merayakan, dan mengembangkan tradisi. Apa dan mengapa tradisi? Dalam batas pengertian umum bahwa tradisi merupakan khazanah yang diwarisi dan diwariskan, di situ terkandung makna ihwal kedekatan dan relevansi bagi para pewarisnya.

Dekat, karena dengan tradisi seseorang atau kelompok menjadi mungkin untuk melakukan pengenalan “ke-dalam” yang dengannya upaya membangun gagasan dan sikap menemukan keutuhan sekaligus kesinambungan antara masa lalu (madli), masa kini (hal) dan masa depan (mustaqbal). Relevan, sebab melalui tradisi, identifikasi “ke-luar” memperoleh ukuran-ukuran yang jelas, sehingga tak gagap menanggapi segala bentuk kebaruan dari luar, termasuk pula ketika dirasakan adanya kebutuhan terhadap perbandingan atau bahkan pembaharuan.

Tradisi dengan demikian adalah semacam sanad, mata rantai yang menjadi penghubung dan penjamin kesahihan. Menjadi jelas sekarang bahwa kaidah fiqh al-muhāfazah ‘ala al-qadīm al-shālih wa al-akhzu bi al-jadīdi al-aslah} merupakan rumusan yang mendorong dan memungkinkan umat Islam mempertahankan tradisi dan melakukan inovasi tanpa kehilangan jati diri kesejarahannya .

Adalah perkembangan yang menarik bahwa, seperti telah diketahui, sejumlah pemikir muslim mutakhir semisal Hassan Hanafi, Nasr Hāmid Abu Zayd, atau Muhammad ‘Ābid al-Jābiri dikenal, antara lain, akan penyikapan ilmiah dan penghargaan mereka mereka terhadap turās—tentu dengan kadar, pola dan hasil pemikiran yang relatif berbeda satu sama lain.

Perjalanan keilmuan mereka melewati lorong dan saat perjumpaan dengan khazanah ilmu pengetahuan barat yang membuat mereka paham betul makna “pengalaman orientalis”. Ini di satu sisi memang menyebabkan sinisme buat mereka, namun di sisi lain “pengalaman orientalis” itulah yang justru membuat mereka serius memahami kemendesakan akan pentingnya berdialektika dengan turās.

Wajar jika kemudian mereka banyak bersentuhan dengan dan menimba inspirasi secara kritis dari karya-karya ulama Islam klasik abad pertengahan—hal mana yang secara geografis, historis, dan psikologis memang lebih dekat dan relevan.

Kecenderungan seperti ini sesungguhnya wajar dan perlu kalau lah kita mau membandingkannya dengan apa yang terjadi di kalangan sarjana Barat. Empirisme di Inggris yang mengerucut pada John Locke atau mazhab kritis-dialektis di Jerman yang berakar pada Hegel dan Kant, misalnya, satu dan lain hal merupakan hasil dari kesediaan untuk memuliakan tradisi sendiri.

Dengan latar seperti diurai di muka, makalah ini lalu memberanikan diri untuk meng(k)aji teks Wadzāif al-Muta’allim karya KH. Zainal ‘Ābidīn Munawwir dalam kesengajaan yang serupa, namun dengan niatan yang lebih sederhana. Selama ini, Wadzāif al-Muta’allim wajib dipelajari oleh santri Pesantren Al Munawwir tingkat salafiyah dan sejauh ini belum ada tinjauan sistematis terhadapnya.

Dorongan menelaah Wadzāif al-Muta’allim hadir dari alasan yang tidak semata-mata praktis. Secara tematik, karya ini ada dalam barisan karya sejenis seperti Ta’lim al-Muta’allim karya al-Zarnūji (640 w.[?]) yang jamak menjadi standar pegangan di pondok pesantren dalam hal Adāb al-Ta’līm atau etika belajar.

Secara umum Wadzāif al-Muta’allim membicarakan etika dan akhlak, namun menukik hingga ke dasar eksistensi ilmu. Seperti nanti akan dibicarakan, kitab ini hadir dalam terang fondasi etis terutama bagi ontologi dan aksiologi sebuah ilmu. Inilah alasan pertama.

Alasan kedua, fitrah sebuah karya adalah kelekatannya dengan zaman tempat ia lahir. Tidak ada karya yang lahir dalam ruang hampa sejarah. Kedekatan dan relevansi Wadzāif al-Muta’allim dibanding Ta’lim antara lain terletak pada aspek kebaruannya.

Karya ini selesai pada ‘asyura tahun 1384 H (1964 M), suatu kurun waktu yang ditandai dengan masih merebaknya dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Dikotomi yang berasal sejak masa kolonial Belanda ini membawa konsekuensi yang panjang. Antara lain menajamnya perbedaan lembaga-lembaga pendidikan. Di satu sisi, berbagai lembaga pendidikan negeri yang banyak mengadopsi kurikulum modern kian berkubang pada formalisme. Sejumlah gejala dengan mudah bisa dirujuk.

Kecenderungan mengejar gelar, memalsukan ijazah, hingga standarisasi angka kelulusan menampakkan positivisme dalam wajahnya yang menyedihkan. Di sisi lain, lembaga pendidikan yang diinisiasi masyarakat sipil, termasuk pesantren dengan segala kekhasannya, kian tak diminati karena dianggap tak menjanjikan dan menjamin masa depan. Dalam paradoks inilah, Wadzāif al-Muta’allim muncul dan mengurusi kembali persoalan-persoalan paling mendasar dari ilmu.

Alasan ketiga, Indonesia memiliki banyak ulama yang secara keilmuan memadai. Ini membutuhkan uraian tersendiri, cukuplah disebut nama-nama semacam Syekh Ihsan Jampes, KH Hasyim Asy’ari, Syekh Mahfuz} al-Tarmasi, Syekh Yāsin al Fadāni, hingga KH Sahal Mahfuz sebagai jaminan bagi kuatnya tradisi kecendekiawanan di kalangan ulama’ Islam Indonesia.

Tanpa bersikap apologetik, kesadaran untuk menyuburkan khazanah sendiri sungguh berpeluang untuk mewujudkan visi Islam rahmatan lil ‘alamin. Bahwa Islam diturunkan di Arab tidak dengan sendirinya Islam adalah Arab. Gagasan pribumisasi Islam yang diserukan Allāhu yarham KH Abdurrahman Wahid yang kemudian marak pada dekade 1980-an kurang lebih mau menerjemahkan visi Islam itu dalam konteks keindonesiaan.

Bagi para pembelajar di Indonesia, kesadaran ini penting untuk menyingkirkan perasaan rendah diri di hadapan karya-karya asing ketika terjadi dialog. Dalam konteks demikian, Wadzāif al-Muta’allim adalah salah satu eksemplar dari sekian banyak teks karya pribumi yang menunggu untuk diteliti dan dikembangkan.

Tilikan Sepintas
Wadzāif al-Muta’allim menggunakan uslub atau susastra yang ringkas, tegas, padat, dan dialogis. Sekalipun demikian, nampak juga kebutuhan KH Zainal Abidin untuk memunculkan ungkapan-ungkapan adabiyah (sastrawi) yang otentik. Teks ini adalah salah satu contoh karya a’jamiy (orang non-arab) yang menguasai dengan telesih lekuk-lekuk gramatika bahasa Arab yang justru dengan penguasaan itu penyertaan unsur non-arab bisa dilakukan tanpa kesan kikuk dan jauh dari kesan serampangan.

Dari segi alur berpikir, Wadzāif al-Muta’allim sebagaimana disebutkan pengarangnya, mengacu pada model teks-teks fiqh yang penyandaran hukumnya dilakukan secara selektif. Kecenderungan seperti ini bersifat epistemik, berasal dari kerangka besar keilmuan Islam dalam menggali kebenaran naqliy dan ‘aqliy dengan al Quran dan al Sunnah sebagai inspirasi utamanya.

Secara umum, Wadzāif al-Muta’allim terdiri dari delapan bagian utama. Bagian pertama, muqaddimah, berisi motif, latar belakang, dan tujuan di balik penyusunan. Bagian kedua, Wadzāif al-Muta’allim zamana al-tholab, terbagi dalam 17 sub bab, terutama fokus pada aneka kewajiban atau tugas yang diemban semasa mencari ilmu. Bagian ketiga, Adābu al-Muta’allim Ma’a Ustāz\ihi memuat tujuh sub bab yang kesemuanya membahas etika murid dalam hubungannya dengan guru. Bagian keempat, Wadzāif al-Muta’allim wa A’māluhu Waqta al-Talaqqi al-Dirāsah memuat 4 sub bab yang berhubungan dengan laku praktis dalam majlis ilmu.

Bagian kelima, Mā Yaf’alu Ba’da al-Istifādah wa Istifāi al-Dirāsah membahas secara ringkas dan umum tentang kewajiban setelah menyelesaikan tahapan ilmu tertentu. Bagian enam, Munājah, berisi imperasi (seruan dan peringatan) untuk tidak pernah merasa cukup dengan ilmu yang dimiliki sekaligus tugas menyebarkannya kepada khalayak yang lebih luas.

Bagian tujuh, Tawjīhāt, dan delapan, ‘Itāb, memuat kritikan mendasar bagi penyimpangan etis dan kelemahan literer yang banyak melanda pesantren dan universitas. Terakhir, bagian delapan, Wadzāif al-Mu’allim berisi rambu-rambu bagi para pengajar ilmu.

Dan berbekal tiga alasan serta gambaran serba singkat di atas, maka makalah ini antara lain mau mengawali telaah tertulis dengan menyasar proposisi-proposisi utama dari Wadzāif al-Muta’allim sejauh menyangkut fondasi etis ilmu dan reorientasi para penuntutnya . Ke depan, penulis berharap adanya upaya lanjutan yang menelaah Wadzāif al-Muta’allim dengan sudut padang, pendekatan, dan cakupan yang lebih luas dan beragam.

Ilmu dan Fondasi Etisnya; Soal Hakikat dan Manfaat
Apakah pengetahuan itu mungkin, dari mana dan melalui apa pengetahuan di dapat, adalah sejenis ontologisme yang merenungi hakikat ilmu dan kebenaran lebih dari sekadar anggapan umum. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, pencarian kebenaran dan pengetahuan berakhir dengan jawaban yang berbeda-beda. Sebagai misal, di barat berkembang jenis pengetahuan yang terbagi dalam dua kutub utama: rasionalisme dan empirisisme.

Pada yang pertama berlaku keyakinan dan kepercayaan bahwa pengetahuan hanya mungkin dan beroperasi dalam wilayah akal. Alam semesta ada sepanjang ia dipikirkan. Begitu juga keberadaan manusia. Rumus Cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada, dari bapak rasionalisme modern Rene Descartes adalah pangkalnya. Pendek kata, pikiran adalah satu-satunya prasyarat bagi kemungkinan terhadap pengetahuan. Wajar jika aktivitas berpikir yang dimulai dari jenis ontologisme ini adalah keragu-raguan.

Sedang emipirisisme menjadi doktrin yang mengafirmasi bahwa semua pengetahuan berdasarkan pada pengalaman. Yang ditolak adalah kemungkinan ide yang spontan dan pengetahuan apriori. Maka, piranti buat menyerap pengetahuan adalah indera. Dengan demikian pengetahuan adalah segala sesuatu yang mungkin diserap dan dipersepsi secara inderawi. Di luar itu bukanlah pengetahuan .

Bagaimana Wadzāif al-Muta’allim memahami ilmu. Pertama-tama, ilmu merupakan anugerah dari Allah (anna al-‘ilma wa al-fahma fadlun min Allāh). Ilmu adalah juga bagian dari nikmat yang dianugerahkan untuk menguji apakah seseorang akan syukur atau kufur. Kebenaran tertinggi adalah Allah. Allah adalah pusat dari kosmologi hal mana segala sesuatu berasal dan kembali.

Dari basis ontologis seperti ini tidak mengherankan jika dalam sejarahnya, ‘ulama Islam tidak merisaukan dikotomi antara kebenaran kitab suci (ayat qauliyah) dengan kebenaran yang ditemukan melalui laboratorium ilmuwan (ayat kauniyyah). Berbeda dengan sejarah Eropa manakala magisterium gereja dipertentang-hadapkan dengan temuan para ilmuwan sekular.

Kosmologi dengan Allah sebagai pusat membuat upaya pencarian ilmu sebagai bagian dari ritual ibadah, sebagai suatu cara penghambaan kepada Tuhan. Maka, ritual mencari ilmu berkedudukan sama dengan kewajiban-kewajiban lain seperti salat dan puasa. Bahkan segala jenis ibadah yang berujung pada ketakwaan justru memprasyaratkan ilmu sebagai awalannnya. Tak ada jalan ketakwaan yang tidak dilantari ilmu. Dalam bahasa Wadzāif al-Muta’allim, dengan gaya tanya retoris, dinyatakan fa law lam yakun ma’lūman fa kaifa yuttaqā ‘anhu?

Ketundukan terhadap Allah dalam hubungannya dengan mencari ilmu tidak berarti melumpuhkan fakultas manusiawi dalam mengupayakannya. Fakultas manusia ini mencakup kemampuan mengindera, menalar dan merasa. Wadzāif al-Muta’allim mengkritik irasionalitas pencarian ilmu dengan jalan klenik.

Wilayah ilmu adalah rasionalitas, al-‘ilmu bi al-ta’allum wa al-fiqhu bi al-tafaqquh. Penggunaan kata rasionalitas di sini digunakan dengan intensi yang berbeda dari rasionalisme. Kata rasionalitas di sini mau mengacu pada kemampuan nalar sebagai perantara bagi kemungkinan didapatkannya ilmu, jadi bukan sebagai pemutlakan terhadap akal. Konsekuensi dari pola yang demikian ini membuat ilmu dibayangkan sebagai sebuah tertib, anna al-‘ilma yartabit}u ba’duha bi ba’d.

(Re)orientasi Menuntut Ilmu
Dalam teks Wadzāif al-Muta’allim disebutkan pola penuntut ilmu berdasarkan motifnya. Pertama, Qas}īru al-Bā’, yakni orang yang menuntut ilmu dalam waktu singkat namun terburu-buru ingin dipanggil guru atau ustad, padahal kapasitas keilmuannya masih pada taraf kulit belaka.

Kedua, Māddiy, yakni materialis. Ia menuntut ilmu sekadar untuk menghasilkan uang. Tidak jauh berbeda dengan pola kedua adalah orang ragu kalau-kalau kelak tidak akan mendapat kerja sebab ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu syariat saja.

Ketiga, Murā’-mu’jab, yakni orang yang menuntut ilmu demi gelar dan ijazah sekalipun palsu. Ia puas manakala sertifikat akademis telah didapat.

Keempat, Mutaraddid, yakni orang yang sering berpindah-pindah lembaga pendidikan namun tidak mendapatkan kemanfaatan ilmunya; dia berdalih dengan buruknya sistem pendidikan suatu lembaga padahal dia sendiri yang gagal ujian.

Kelima, Abiyy, yakni orang yang enggan belajar pada suatu majelis ilmu sebab pengampunya atau lembaganya tidak terkenal, tidak favorit, tidak diakui dan lain sebagainya.

Keenam, Mujāwiz, yakni orang yang mencari ilmu demi dekat dengan seorang kiai atau guru namun kelewat batas hingga menyalahgunakan posisi kedekatannya.

Keenam-enamnya ini tidak mengerti apakah sesungguhnya ilmu dan apakah arti tanggung jawab belajar atau ngelmu itu.

Uraian berikut hendak merinci enam kategori di atas sembari menyertakankan komentar seperlunya.

Guru: Antara Prestasi, Pretise dan ‘Profesi’ (Qas}īru al-Bā’)
Pahlawan tanpa tanda jasa adalah guru. Ungkapan ini dapat diterima bila perbandingannya berupa jabatan tentara; semisal jendral, laksamana, atau letnan; dan itu di zaman dahulu sebelum guru memiliki gaji tetap—yakni, guru yang murni mendidik dan mengajar.

Ini dapat disebandingkan dengan seorang kiai. Tidak mengambil upah atas jasanya namun memberikan guna yang tidak sedikit terhadap lingkungan sekitar. Sehingga, guru kala itu adalah sebuah prestasi. Ketika seseorang telah lama menjadi guru hingga ia merasa patut untuk mempertahankannya, guru menjadi sebuah prestise, status sosial yang menempatkannya dalam posisi yang terhormat. Kontras dengan kenyataan sekarang, guru—atau bahkan kiai—tidak bisa dibicarakan dalam konteks klasik tersebut. Sebab, guru kini telah menjadi profesi.

Dahulu, status guru pernah mulia sebagai cita-cita. Bahkan, menuntut ilmu untuk menjadi seorang guru, dalam batas tertentu, masih bisa dinilai ‘pantas.’ Dalam Wadzāif al-Muta’allim ini, disiratkan, bahwa selama menuntut ilmu tidak diarahkan pada tujuan duniawi, penuntut ilmu masih berada dalam titik aman dari murka Allah Swt. meski masih rawan tergelincir.

Memang tidak dilarang memungut upah atas suatu pengajaran. Akan tetapi hal ini masih dirasa tabu. Kecuali bila segala bentuk pemberian kepada seorang guru diwujudkan sebagai hadiah. Namun ada yang lebih berbahaya dari semua ini: yakni, menuntut ilmu sekedar untuk mendapat julukan guru atau ustadz, tanpa menyadari kapasitas keilmuan pribadinya. Dalam situasi disorientasi seperti ini, niat memiliki peran penting dalam menentukan nilai seseorang dalam menuntut ilmu. Sehingga menuntut ilmu merupakan hal intim antara Allah Swt. dan penuntut ilmu.

Menuntut Ilmu Meraih Uang (Māddiy)
Peribahasa ‘menyelam sambil minum’ punya tekanan makna yang relatif sama dengan ‘menuntut ilmu mencari uang.’ Terjadi pergeseran orientasi dalam menuntut ilmu di saat ini. Pergeseran oerientasi yang dimaksud adalah saat ilmu pada dirinya telah menjadi tujuan atau terlalu banyak dibebani dan dilekati hal-hal lain di luar ilmu sendiri. Dengan kata lain, disorientasi merujuk pada kerancuan antara tujuan (ghayah) dan alat/perantara (wasilah).

Bila dibedakan berdasar jenis ilmu yang dipelajari, maka untuk saat ini, Ilmu Syariat kurang diminati kecuali dalam lingkup pesantren. Hal ini akan terlihat jelas ketika diperbandingkan dengan, misalnya, ilmu teknik atau mekanik. Di benak orang umum, ilmu syariat tidak memberikan jaminan ekonomi; sedang ilmu teknik atau mekanik dipersangkakan bahwa setiap pelajarnya bisa mendapat kerja setelah selesai masa belajarnya. Orientasi aktivitas menuntut ilmu zaman sekarang adalah mendapatkan kerja dan gaji.

Disebutkan dalam teks Wadzāif al-Muta’allim, bahwa krisis orientasi yang sedang dialami pelajar pesantren saat ini adalah mengingkari dan menyiakan ilmu syari’at yang telah dianugerahkan padanya dengan anggapan bahwa ilmu tersebut tidak mengantarkannya untuk mendapatkan pekerjaan, tidak memberi jaminan yang jelas untuk masa depannya, dan tidak melegalkannya bekerja sebagai pegawai negeri di kantor-kantor pemerintahan mana pun.

Dalam hatinya terbersit: “Dari mana aku bisa hidup dan mendapat rejeki ketika aku sudah berhenti mondok nanti?” Lebih ironis lagi, teman-teman di sekitarnya menggoda batinnya untuk segera meninggalkan ilmu syariat itu dan berpindah belajar ilmu praktis.

Menuntut ilmu berbeda dengan bekerja. Ilmu syariat bukan ladang mata pencaharian, tidak membahas manajemen pabrik atau praktik pertanian. Duduk ilmu syariat adalah mengontrol laku profit tersebut, bukan pada langkah-langkah praktisnya. Meletakkan ilmu syariat sebagai lahan mencari nafkah bukan tindakan yang dianjurkan.

Tidak satu ayat al-Qurān dan selarik hadits pun yang menyatakan bahwa Islam berjanji: siapa pun yang belajar Ilmu syariat pasti kaya dan berada. Yang ada adalah motivasi untuk suatu ketakwaan dan tawakal. Dengan pemetaan ini, jelas di mana mencari ilmu, di mana mencari uang, di mana guru, dan di mana profesi.

Ijazah dan Kapasitas Keilmuan (Murā’-mu’jab)
Berbicara ijazah dan kapasitas keilmuan berarti membahas tolok ukur keilmuan seorang penuntut ilmu. Mari andaikan qiyas berikut. Dahulu, dalam suatu biro jasa penyimpanan barang, dikenal istilah nota.

Ketika seseorang akan barter namun tidak membawa barangnya, maka ia hanya perlu memberi nota yang berisi catatan keterangan yang senilai dengan barang yang disimpan di biro penyimpanan untuk kemudian ditukarkan; dan nota itu resmi dari biro terkait. Nah, nota inilah yang kemudian berevolusi menjadi apa yang sekarang dikenal dengan ‘uang.’ Ijazah dalam batas tertentu adalah nota resmi yang menyatakan sejumlah keterangan tentang kapasitas keilmuan seseorang.

Bila ada istilah ‘uang palsu’, maka tidak aneh pula bila ada ‘ijazah palsu.’ Kepalsuan sesungguhnya tidak didasarkan pada kertas ijazah namun pada lembaga yang mengeluarkannya. Sehingga, yang semestinya dipertanyakan adalah kredibilitas dan integritas lembaganya. Yang patut disayangkan, bahkan dalam lembaga-lembaga pendidikan tingkat tinggi—baik universitas Islam, sekolah-sekolah umum, atau pesantren—yang mengeluarkan ijazah, teks-teks induk terkait konsentrasi studi tidak dijadikan materi pokok.

Maka, ijazahnya pun patut dipertanyakan lantaran tolok-ukurnya adalah prosedur. Jika yang demikian ini saja bermasalah, bagaimana hendak dikata jika kini kian banyak lembaga yang dengan sengaja mempertukarkan ijazah dengan nominal uang? Ini adalah kerancuan yang berlapis-lapis.

Kondisi memprihatinkan ini bisa diatasi bila tolok ukur keilmuan tidak didasarkan pada ijazah, melainkan praktik keseharian. Makin banyak ilmu, seseorang mesti mengimbanginya dengan amal. Keselarasan antara ilmu dan amal adalah tanggung jawab setiap penuntut ilmu.

Sebab, perbuatan atau amal adalah buah dari sekian banyak ilmu yang telah dipelajari. Inilah tolok ukur keilmuan yang sesungguhnya. Ukurannya adalah praktik, bukan lembaran ijazah. Kondisi ideal ini memang terdengar seperti khayalan, namun tidak demikian jika kita menakarnya sebagai bahan untuk merumuskan kembali pengertian dan bentuk ijazah yang benar-benar mempertimbangkan kualitas.

Orientasi Belajar: Menyelesaikan Jenjang pendidikan (Mutaraddid dan Mujāwiz)
Jenis penuntut ilmu ini unik sekaligus aneh. Ia sama sekali tidak menuntut ilmu, melainkan menyelesaikan jenjang pendidikan. Fenomena ini tidak asing di tengah disorientasi aktivitas menuntut ilmu akhir-akhir ini. Persoalan berapa nilai yang tercantum di ijazah tidak penting.

Orientasi belajarnya adalah lulus dan selesai. Sedikit berbeda namun masih dalam satu jenis ini, yakni menuntut ilmu di suatu lembaga tertentu hanya untuk mendapatkan link ke dosen, kiai, atau ke pemerintahan. Sehingga, aktivitas menuntut ilmu menjadi aktivitas sampingan.

Dalam teks Wadzāif al-Muta’allim disebutkan perihal bagaimana Siti ‘Āisyah, istri termuda Rasulullah Saw., tidak berpindah menuju ilmu di tingkat berikutnya bila yang sedang didalaminya belum tuntas.

Di sini terlihat bahwa menuntut ilmu tidak didasarkan pada perampungan kelas, semester, atau tingkatan, melainkan didasarkan pada penguasaan terhadap suatu bidang tertentu. Tawaran menarik dalam Wadzāif al-Muta’allim adalah: skala prioritas ilmu yang mesti dipelajari —inilah jenjang pendidikan ideal.

Di sana ada matematika; ada kedokteran; dan ada ilmu syariat (tauhid, Fikih, dan akhlak). Namun ilmu syariat berada pada prioritas utama. Sebab, kewajiban pertama seseorang dalam hidup ini adalah mengenal siapa Tuhannya. Tanpa akidah dikokohkan terlebih dahulu, seorang penuntut ilmu akan mudah terombang ambing dengan iming-iming ijazah, pekerjaan, atau jabatan.

Dengan demikian, menuntut ilmu adalah menuntut ilmu. Baru kemudian setelah jenjang ini dilewati, dilanjutkan belajar ilmu lain. Misalnya: kedokteran, lalu Matematika, lalu Geografi, kemudian Etnologi.

Jadi, jenjang pendidikan yang sesungguhnya tidak terletak pada penyelesaian tingkatan akademis, melainkan terletak pada ilmu yang sedang dipelajari: sudah tuntaskah ia mempelajarinya ataukah belum. Akan semakin lama jenjangnya bila ini dihubungkan dengan hadits ‘…menuntut ilmu itu dari timangan hingga liang lahat.’

Lembaga Pendidikan Favorit (Abiyy)
Inilah kecenderungan mutakhir yang mewabah. Banyak orang tua mengirim anak-anak mereka ke lembaga pendidikan favorit demi mendapatkan pengajaran dan materi ilmu yang lebih baik. Biaya yang dikeluarkan pun tidak tanggung-tanggung banyaknya.

Hal ini untuk mewujudkan mimpi mereka memiliki anak yang berguna bagi nusa dan bangsa—atau dengan ungkapan yang lebih jujur, mendapat pekerjaan yang lebih baik. Jarang orang tahu bahwa sikap ini sesungguhnya telah membatasai ruang ilmu. Pada gilirannya, apa yang tidak wajib menjadi wajib; yakni aktifitas belajar, bersekolah, atau menyekolahkan, tidak sah bila tidak di lembaga favorit.

Wadzāif al-Muta’allim menyebut bahwa sikap enggan belajar selain di lembaga pemerintah adalah sikap congkak. Buahnya adalah kebodohan. Pesantren dan lembaga pendidikan non-formal yang lain tidak menjadi pilihan sebagai tempat belajar.

Pembatasan ini mengabaikan kenyataan bahwa menuntut ilmu tidak bisa dibatasi oleh apa pun. Bahkan oleh biaya. Orang bisa tetap terus menuntut ilmu tanpa biaya andai saja menuntut ilmu tidak selalu dimaknai bersekolah atau berkuliah. Di sinilah uniknya, Wadzāif al-Muta’allim menempatkan pencarian ilmu sebagai kewajiban sekaligus hak.

Dari uraian yang telah dipaparkan, teks Wadzāif al-Muta’allim memberi tawaran menarik tentang aktifitas menuntut ilmu, menyegarkan kembali orientasi terhadap ilmu. Beban-beban kesalah-kaprahan khalayak umum yang dilekatkan pada aktifitas ‘menuntut ilmu’ sudah selayaknya dilepaskan. Ijazah, pekerjaan, gaji tetap, kedudukan, kekuasaan, atau bahkan kesuksesan; semua ini adalah beban yang memberati aktifitas ‘menuntut ilmu.’

Khatimah
Dalam skala jagad literatur islam yang melimpah, Wadzāif al-Muta’allim merupakan kontribusi yang tidak besar namun unik dalam usaha melepaskan beban-beban yang menindihi aktifitas menuntut ilmu. Sehingga, dapat diketahui dengan jelas hakikat sesungguhnya ilmu, menuntut ilmu, dan memanfaatkan ilmu.

Di permukaan, yang segera tampak dari Wadzāif al-Muta’allim adalah aspek praktikalitasnya. Kesan yang demikian tentu saja tak keliru mengingat teks ini memang diniatkan sebagai pedoman yang mudah diingat, diresapi, dan diterapkan.

Namun demikian, jika diabstraksikan, Wadzāif al-Muta’allim mengurusi etos pencarian ilmu sebagai ritual ibadah yang berada pada tiga aras: pengertian, sikap, dan perilaku. Pada aras pengertian, ilmu dipahami sebagai bagian dari anugerah Allah yang tak terbatas sehingga menyaratkan konsistensi pengerahan daya sepanjang usia untuk mencarinya.

Pencarian ilmu pada hakikatnya semata-mata untuk mencari rido Allah Swt., kalis dari segala kepentingan lain. Pada aras sikap, ilmu dihadapi dalam nuansa sakralitas yang meminta penuntutnya untuk senantiasa memelihara rasa ingin tahu, tidak pernah merasa cukup, dan sekaligus mengiringinya dengan perasaan hormat sepenuh kesadaran. Selanjutnya, dua aras ini mengejawantah dalam perilaku. Perilaku menjadi cermin keduanya yang mewujud pada laku-laku yang berhubungan dengan relasi antar manusia dan etiket selama atau sesudah belajar.

Sebelum diskusi berakhir, kiranya perlu dikatakan bahwa makalah yang tengah menyapa sidang pembaca ini bukanlah suatu tinjauan yang ketat—hal mana yang lazim dilakukan dalam studi kritik teks. Pada mulanya terbayang sejumlah pilihan pendekatan semacam hermeneutika, semiotika, hingga content analysis. Namun keterbatasan waktu, bahan, dan, tentu saja, kesanggupan mengerjakannya menjadi halangan yang musykil dihindari. Intensi dari pernyataan ini ialah tantangan terbuka baik bagi penulis sendiri maupun orang lain untuk melanjutkan apa yang sudah diawali dalam makalah ini.

Sebagai pungkas kata, ijinkan syair Qays kepada Layla berikut ini dipinjam sebagai ungkapan kerinduan terhadap sayap-sayap yang mampu menerbangkan kita dari kedangkalan, menemukan ketinggian dan keindahan surgawi, yang boleh jadi tersimpan rapi dalam belukar tradisi.

أَسِرْبَ اْلقَطَا هَلْ مَنْ يُعِير جَنَاحَه * لَعَلِّى إِلـٰى مَن هَوِيتُ أَطِير

Sampai di sini semoga bermanfaat. Wallahu A’lamu bi al-Shawab []
Krapyak, 2 Rabiul Awal 2010

DAFTAR PUSTAKA
‘Ābidīn, KH. Zainal, Wadzāif al-Muta’allim, tt. diterbitkan secara mandiri oleh Bagian Penerbitan Pon. Pes al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta
Al-Ghazāli, Abu Hamid, Raudah al-Tālibīn wa ‘Umdah al-Sālikīn, Darl al-Fikr: Bairot-Lebanon, tt.
Hasyim Asy’ari, Muhammad, Ādābu al-‘Ālim wa al-Muta’allim dalam Irsyādu al-Sāri fī Jam’i musannafāt al-Syekh Hāsyim Asy’ari, Maktabah al-Masradiriyyah: Tebuireng-Jombang, tt.
Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam, New York; The New American Library inc. 1970Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Sinar Harapan: Jakarta, cet XX, 2007, hal.
Hanafi, Hassan, Turās\ dan Tajdīd; Sikap Kita terhadap Turās\ dan Tajdīd, Titian Ilahi Press: Yogyakarta, 2001, cet. I
Baso, Ahmad, Islam Pasca-Kolonial; Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme, Mizan: Bandung, 2005, cet. I

Redaksi

Redaksi

admin

497

Artikel