Panitia Zakat Fitrah Masjid/Mushola/Yayasan termasuk ‘Amil Zakat atau Tidak?

Panitia Zakat Fitrah Masjid/Mushola/Yayasan termasuk ‘Amil Zakat atau Tidak?
Sumber : https://news.detik.com/

Ibadah zakat fitrah merupakan salah satu dari rukun Islam, dan merupakan penyempurna ibadah puasa kita di bulan Ramadhan. Berbagai praktik zakat fitrah di Indonesia berasal dari tradisi turun-temurun atau inisiatif baru masyarakat untuk mempermudah penyaluran zakat dari Muzakki (Orang yang membayar zakat) kepada Mustahiq (Penerima zakat).

Hal ini mendorong terbentuknya panitia zakat di lingkungan sekolah, perkantoran, dan masjid untuk mengelola pengumpulan dan penyaluran zakat. Banyak dari panitia ini mengklaim sebagai amil zakat dan merasa berhak mengambil sebagian zakat yang diserahkan.

Namun, muncul polemik di kalangan masyarakat karena kurangnya pemahaman dalam membedakan apakah panitia tersebut termasuk ‘amil zakat yang sah atau tidak, sehingga memunculkan keraguan terkait keabsahan zakat yang dibayarkan. Lantas bagaimana penjelasan syara’ menurut ulama fikih terkait panitia pengelola zakat?

Pengertian ‘Amil dapat kita lihat dalam kitab Fath al-Muin sebagai berikut

وَالعَامِلُ كَسَاعٍ: وَهُوَ مَنْ يَبْعَثُهُ الْإِمَامُ لِأَخْذِ الزَّكَاةِ وَقَاسِمٌ وَحَاشِرٌ لَا قَاضٍ

Artinya: ‘Amil seperti Sa’i (orang yang mengurus zakat) adalah seseorang yang diutus oleh Imam untuk mengambil, membagi, dan mengumpulkan zakat dan bukan seorang Qadhi [Zainuddin al-Malibary, Fath al-Muin, Dar Ibn Hazm, halaman 249]

Dalam referensi lain, Syarh al-Yaaqut an-Nafis halaman 299 dengan lebih jelas menyatakan bahwa

والعَامِلِيْنَ علَيْها) وَلَا يُعَيَّنُوْنَ إلَّا مِنْ جِهَّةِ الدَّولَةِ مِثْلُ الكَاتِبِ والحَاسِبِ والكَيَّالِ وغَيرِهِم فَيُعْطَى لَهُ أُجْرَةٌ أمَّا لو عُيِّنَ العامِلُ مِنْ قِبَلِ مَجْمُوعَةٍ مِنَ المُزَكِّيِيْنَ لا يُقَالُ عامِلٌ عَلَيْها

Artinya: ‘Amil zakat tidak dibentuk kecuali dari pemerintah. Seperti sekretaris, tukang hitung, penimbang dll. Dan mereka semua digaji. Amil swasta yang dibentuk oleh kesepakatan masyarakat, tidak bisa dikategorikan sebagai ‘amil yang berhak menerima zakat.

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ‘amil adalah seseorang yang ditunjuk oleh pemimpin (imam) untuk memungut, mengumpulkan, dan menyalurkan zakat kepada pihak yang berhak menerimanya. Dengan demikian, ‘amil dapat dianggap sebagai perwakilan imam dalam menjalankan tugas yang berhubungan dengan pengelolaan zakat.

Dari kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa ‘amil adalah seseorang yang diutus oleh imam untuk mengelola zakat. Dari sini dapat diketahui pula bahwa tidak semua panitia zakat di Indonesia merupakan ‘amil zakat.

Pemerintah Indonesia mengelola zakat melalui BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 8 Tahun 2001. Karena BAZNAS ditunjuk langsung oleh imam, dalam hal ini Presiden, maka lembaga ini termasuk dalam kategori ‘Amil Zakat sesuai dengan ketentuan syariat.

Selain itu, dalam Perbaznas No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpulan Zakat (UPZ), disebutkan bahwa BAZNAS membentuk unit pengumpulan zakat di berbagai instansi dan masjid sebagai perpanjangan tangan BAZNAS. Oleh karena itu, panitia zakat yang dibentuk di lingkungan pendidikan, pemerintahan, organisasi masyarakat, masjid, atau surau yang mendapat mandat dari BAZNAS, maka dianggap sebagai ‘amil yang berwenang untuk mengumpulkan, menyalurkan, dan menerima bagian dari zakat fitrah.

Penjabaran lainnya dapat kita lihat dalam kitab Ianah at-Tholibin dan Majmu’ Syarh al-Muhadzab bahwa pemberian zakat dari Muzakki kepada Imam/’Amil/Sa’i adalah seperti pemberian kepada Ashnaf delapan karena mereka merupakan pengganti Mustahiq (Naaibul Mustahiq).

Sedangkan pemberian zakat dari Muzakki kepada selain mereka dalam hal ini panitia yang bukan Amil, maka keadaan tersebut merupakan akad wakil di mana proses pengeluaran zakat belum selesai selama belum sampai kepada salah satu dari Ashnaf yang delapan.

Imam Nawawi memberikan rekomendasi tentang keutamaan penyaluran zakat agar ibadah zakat dapat diamalkan dengan baik dan sah sebagaimana berikut

(الرَّابِعَةُ) فِي بَيَانِ الْأَفْضَلِ قَالَ أَصْحَابُنَا تَفْرِيقُهُ بِنَفْسِهِ أَفْضَلُ مِنْ التَّوْكِيلِ بِلَا خِلَافٍ لِأَنَّهُ عَلَى ثِقَةٍ مِنْ تَفْرِيقِهِ بِخِلَافِ الْوَكِيلِ وَعَلَى تَقْدِيرِ خِيَانَةِ الْوَكِيلِ لَا يَسْقُطُ الْفَرْضُ عَنْ الْمَالِكِ لِأَنَّ يَدَهُ كَيَدِهِ فَمَا لَمْ يَصِلْ الْمَالُ إلَى الْمُسْتَحِقِّينَ لَا تَبْرَأُ ذِمَّةُ الْمَالِكِ بِخِلَافِ دَفْعِهَا إلَى الْإِمَامِ فَإِنَّهُ بِمُجَرَّدِ قَبْضِهِ تَسْقُطُ الزَّكَاةُ عَنْ الْمَالِكِ قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَغَيْرُهُ وَكَذَا الدَّفْعُ إلَى الْإِمَامِ أَفْضَلُ مِنْ التَّوْكِيلِ لِمَا ذَكَرْنَاهُ


Artinya: Bahwa para ashabnya Imam Syafi’i berpendapat, bahwa menyerahkan zakat kepada mustahiq secara langsung itu lebih utama daripada mewakilkan kepada orang lain (atau bisa disebut panitia zakat yang bukan amil dari pemerintah), pendapat ini tanpa adanya perkhilafan. Karena diri kita sendiri lebih terpercaya daripada diserahkan kepada wakil. Dan ketika wakil itu berkhianat (tidak menyerahkan zakat ke mustahiq), maka tidak gugur kewajiban orang yang berzakat karena wewenang wakil sebagaimana wewenang muzakki maka selama harta (zakat) itu belum sampai ke mustahiq maka tidak gugur tanggungan muzakki. Berbeda dengan zakat yang disalurkan kepada amil zakat maka gugurlah zakat muzakki. Imam Mawardi berkata, bahwasannya zakat yang diserahkan pada imam atau ‘amil itu lebih utama daripada kita wakilkan (diserahkan pada wakilu az-zakat). [An-Nawawi, Majmu Syarh al-Muhadzab, Juz 6 halaman 165]

Kesimpulannya adalah praktik penyaluran (tasharuf) zakat fitrah yang ada di Indonesia perlu untuk dikaji ulang dalam legalitas panitia zakat yang ada, apakah termasuk ‘amil zakat atau tidak. Jika termasuk ‘amil zakat maka membayarkan zakat kepada mereka dapat menggugurkan tanggungan ibadah zakat fitrah seorang muslim dan mereka berhak mendapatkan bagian harta zakat.

Sedangkan jika tidak termasuk, maka membayarkan zakat kepada mereka tidak menggugurkan tanggungan ibadah zakat fitrah hingga harta zakat fitrah tersebut sampai kepada mustahiq-nya. Adapun memberikan langsung kepada mustahiq lebih utama daripada memberikannya kepada panitia zakat yang bukan ‘amil serta memberikan zakat kepada ‘amil zakat lebih utama daripada mewakilkannya kepada orang lain dalam hal ini panitia zakat yang bukan ‘amil.

Adapun jika panitia zakat yang bukan ‘amil zakat juga diperbolehkan untuk membayar zakat kepada mereka selama panitia zakat tersebut dapat dipercaya untuk menyampaikan harta zakat kepada mustahiq. Juga merupakan bentuk solidaritas umat muslim dalam menjalankan ibadah secara seksama. Wallahu a’lam bisshowab

Oleh: Muhammad Khoiru Ulil Abshor

Tashih: Lajnah Bahtsul Masail al-Munawwir

LBM Almunawwir

LBM Almunawwir

LBM Almunawwir

14

Artikel