Almunawwir.com – KH. Nawawi Abdul Aziz seorang ulama yang dilahirkan pada 17 Juli 1925 M, bertepatan dengan 25 Dzulhijah 1343 H di sebuah dusun bernama Tulusrejo, Desa Grabag, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Beliau dilahirkan dari keluarga yang taat beragama, yaitu pasangan Kiai Abdul Aziz dan Ibu Nyai Bandiyah.
Pendidikan KH. Nawawi Abdul Aziz dimulai dari pengajaran Al-Qur’an yang langsung dididik oleh ayahandanya. Setiap kali menunjukkan waktu usai magrib dan subuh, beliau ditemani ayahandanya untuk mengaji Al-Qur’an secara langsung.

Sumber Gambar: nu online
Di sisi lain, beliau juga menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) pada zaman itu. Tidak hanya demikian, untuk menambah wawasan serta pengetahuan di bidang ilmu agama, beliau menyempatkan waktu untuk belajar ilmu gramatika arab dan fiqih kepada Kiai Anshori yang masih tetangga sendiri.
Baca juga: Haul Ke-9 KH. Zainal Abidin Munawwir: Muqodaman hingga Analogi Madu
Usai belajar kepada Kiai Anshori, beliau melanjutkan studinya ke pondok pesantren sebab haus akan ilmu dan pengetahuan agama Islam secara menyeluruh serta lebih dalam.
Ditemani seorang kakak kandungnya untuk pergi ke Pesantren Lirap, Kebumen, Jawa Tengah yang terkenal dengan ilmu gramatika arabnya. Kurang lebih selama dua tahun mereka berdua belajar di pesantren tersebut.
Langkah selanjutnya beliau pijakan kaki di atas tanah Pondok Pesantren Tugung Banyuwangi, sisi timur Pulau Jawa. Beliau belajar banyak fan keilmuan, mulai dari fikih, tafsir, hingga tasawuf.
Baca juga: Kebiasaan Unik KH Nawawi Abdul Aziz
Akan tetapi beliau tidak dapat melangsungkan belajar di pesantren ini dalam kurun waktu yang lama. Hal ini dikarenakan ketika mereka berdua sedang pulang ke kampung halamannya agresi militer Belanda tengah tiba di Surabaya.
Dan terjadilah perang yang berkecamuk. Untuk itu, sementara waktu, niat untuk kembali ke pesantren akhirnya harus diurungkan terebih dulu.
Meski terjadi demikian, dengan tekad, semangat dan haus akan ilmu menjadikan beliau tidak berhenti melangkah sampai pada titik ini saja. Perjalanan dalam mengarungi luasnya samudera ilmu dilanjutkan dengan tempat tujuan yang berbeda atau pesantren lain.
Baca juga: Bila Cetakan Tak Mengaji? Koreksi Harakat dalam Cetakan Kitab Barzanji
Dari sinilah sang ayah beliau memberikan arahan agar pergi belajar ke pesantren yang menjadi pusat Al-Qur’an, yakni Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Karena memang sejak dulu sang ayahanda beliau mempunyai keinginan kuat agar anaknya menjadi salah satu Hamil Al-Qur’an.
Setibanya di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, beliau langsung belajar kepada KHR. Abdul Qadir yang sekaligus merupakan pengasuh utama, salah seorang putra KH. Muhammad Munawwir dan Nyai Raden Ayu Mursyidah.
Selama waktu tiga bulan KH. Nawawi Abdul Aziz mendapatkan jumlah hafalan sebanyak tujuh juz setengah. Peristiwa yang tidak diinginkan kembali terjadi lagi, yaitu datangnya tentara Belanda yang mendarat di Yogyakarta. Dengan begitu, seluruh santri akhirnya dipulangkan ke kampung halamannnya masing-masing. Peristiwa terjadi berlangsung cukup lama dan situasi masih mencekam.
Selang enam bulan kemudian beliau baru bisa Kembali ke Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapayak Yogyakarta. Hanya dalam kurun waktu yang relative singkat selama delapan belas bulan beliau selesai mengkahatamkan hafalan Al-Qur’an 30 juz dengan mutqin.
Baca juga: Majlis Haul Komplek L, KH Muslim Nawawi Bocorkan Resep Hidup Mulia
Sebagai seorang santri yang berprestasi dan penuh perjuangan menjadikan beliau sosok yang dilirik oleh semua kalangan, termasuk di antaranya adalah para guru beliau. Pada akhirnya, KHR. Abdul Qadir menikahkan beliau dengan adiknya yang bernama Walidah Munawwir tepat pada Tanggal 28 Agustus 1952 M.
Sisi menarik lainnya dari beliau adalah meskipun sudah menikah, beliau tetap semangat akan haus ilmu masih tersimpan rapi dalam diri beliau, sehingga pada akhirnya beliau memutuskan untuk melanjutkan pengembaraan ilmu ke Pondok Pesantren Yanbuul Qur’an Kudus Jawa Tengah di bawah bimbingan langsung oleh KH. Arwani Amin.
Sabar dan istiqamah adalah dua karakter yang selalu disematkan kepada KH. Nawawi Abdul Aziz oleh para santrinya. Hal itu dibuktikan dengan keuletan beliau dalam mendidik para santrinya yang berasal dari berbagai kota bahkan luar pulau Jawa yang berjumlah ribuan.
Baca juga: Diam Bukan Berarti Marah
Setiap usai magrib dan isya’ beliau menerima setoran hafalan baik itu ziyadah maupun murajaah. Dan tiap usai shubuh juga, beliau selalu melakukan kegiatan deresan (murajaah) bersama seluruh para santrinya. Bahkan tidak jarang, meskipun ada undangan ke luar kota dan ketika tiba di pesantren, beliau langsung menyempatkan waktu untuk menyimak para santrinya.
Dalam keadaan yang pasti capek dan lelah tetap beliau lakukan. Ini menunjukkan sifat sabar dan istiqamah telah benar-benar melekat dalam diri beliau hingga menjadi karakter kuat. Sebab, khidmah kepada Al-Qur’an adalah prioritas dari segala kesibukan yang ada dalam kehidupan beliau.
Tirakat bagi penghafal Al-Qur’an yaitu mengulang-ulang hafalannya (murajaah). Jika ingin hafalannya lancar, tapi tidak istiqamah murajaah itu sama saja dengan orang gila. Begitulah salah satu inti pesan hikmah KH. Nawawi Abdul Aziz kepada para santrinya.
Pada Tahun 2014 lalu, tepatnya Hari Rabu pukul 19.45 Tanggal 24 Desember, KH. Nawawi Abdul Aziz wafat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Sardjito karena faktor usia beliau yang telah sepuh.
Kepergian beliau membawa duka bagi banyak orang terlebih keluarga dan seluruh santrinya, Pondok Pesantren An-Nur.
Oleh: Muhammad Dzikrullah (Komplek Ribathul Qur’an Wal Qira’ah)
Baca juga: [Cerpen] Menggunjing itu Sarang Dosa
