Khamr atau arak berasal dari Bahasa Arab, dalam Al-Qur’an disebutkan dengan kata khamr (خَمْر) adalah minuman yang memabukkan. Disebut khamr karena minuman keras mempunyai pengaruh negatif yang dapat menutup atau melenyapkan akal pikiran.

Pembicaraan di dalam Al-Qur’an mengenai khamr yakni berkisar pada persoalan hukum meminum minuman tersebut. Al-Qur’an menetapkan bahwa hukum meminum khamr adalah haram. Sejak 14 abad lalu, syariat islam telah mengharamkan khamr dan hal ini berkaitan dengan penghargaan islam terhadap akal manusia yang merupakan anugrah Allah yang harus dipelihara sebaik-baiknya.
Mengenai pengharaman khamr dalam Islam, hal tersebut dapat dilihat dari sekian banyak ayat Al-Qur’an maupun hadis yang menjelaskan dampak negatif dari khamr. Merujuk pada Al-Qur’an terdapat empat tahap yang dilalui sampai terbentuknya label “haram”. Keempat tahapan tersebut dapat kita ketahui melalui pengkajian Asbab an-Nuzul pada ayat-ayat yang berkaitan dengan khamr.
Tahap Pertama, Surah an-Nahl(16): 67
Dalam tahapan pertama ini secara tidak langsung mulai menganjurkan menghindari khamr dengan menunjukkan bahwa di dalam khamr terdapat unsur memabukkan seperti yang ditegaskan pada ayat berikut:
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.”
Ayat ini turun sebelum diharamkannnya khamr, dan ayat ini merupakan prolog bagi haramnya khamr yang awalnya mereka anggap itu sajian baik. Saat itu khamr belum haram, sebab bagaimana dapat dikatakan ia telah diharamkan sementara yang disebutkan bersamaan dengan beberapa nikmat yang tidak haram (kurma dan anggur).
Pada ayat di atas, Allah sama sekali tidak menyinggung tentang dosa dan juga keharaman bagi peminum khamr. Dengan kata lain, pada saat awal islam datang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, khamr bukanlah minuman yang haram untuk dikonsumsi.
Baca Juga:
Tahap Kedua, QS. Al-Baqarah(2): 219
Adapun tahap kedua dalam menyelesaikan masalah ini masih bersifat hati-hati. Ayat al-Qur’an yang diwahyukan di Madinah datang menjadi jawaban bagi pertanyaan sejumlah muslim mengenai konsumsi khamr dan judi. Yakni QS. Al-Baqarah(2): 219 sebagai tahap kedua pengharaman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا ۗ …
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya’…”
Ayat ini turun ketika Umar bin Khatab, Muadz bin Jabal dan beberapa penduduk Anshor mendatangi Nabi Muhammad SAW, lalu meminta fatwa tentang minuman keras dan judi, beliau menjawab, “keduanya dapat menghilangkan akal dan menghabiskan harta.”
Pertanyaan ini muncul sebab saat itu penduduk Madinah gemar meminum arak (minuman yang memabukkan) dan makan dari hasil perjudian. Bisa dikatakan bahwa ayat tersebut merupakan ayat pertama yang diwahyukan untuk menyinggung pelarangan khamr.
Tahap Ketiga, QS. An-Nisa(4): 43
Ketika masyarakat muslim sudah terbagi menjadi dua golongan, sebagian tetap meminum khamr, namun sebagian lagi sudah mengurangi untuk mengonsumsi khamr dikarenakan sadar akan dosa besar dan hanya mendatangkan sejumlah manfaat. Kemudian tahap ketiga dalam hirarki datang, yaitu adanya pembatasan lebih besar dalam QS. An-Nisa(4): 43
… يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَقْرَبُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمْ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا۟ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِى سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا۟ ۚ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi…”
Ayat di atas merupakan tahapan selanjutnya sebelum pemberian label haram. Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat tersebut turun dilatarbelakangi suatu kejadian di mana ada seorang laki-laki yang meminum khamr kemudian maju untuk mengimami salat. Karena khamr yang diminum menyebabkan ia mabuk, bacaan yang dibacanya pun menjadi keliru.
Seorang muslim harus menjalankan salat dalam waktu-waktu khusus dan jika ia tidak salat sebab mabuk, berarti ia tidak boleh minum alkohol lagi, karena salat wajib dijalankan sepanjang hari dengan pembagian waktu yang merata. Periode ini disebut periode pembasmian kebiasaan minum-minuman keras.
Tahap Akhir, QS. Al-Maidah(5): 90-91
Pada akhirnya masyarakat muslim belum dapat meninggalkan kebiasaan mereka meminum minuman keras karena belum adanya larangan tegas tentang keharaman meminumnya, dan kemudian turunlah tahap akhir dari larangan ini pada QS. Al-Maidah(5): 90-91:
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِنَّمَا الۡخَمۡرُ وَالۡمَيۡسِرُ وَالۡاَنۡصَابُ وَالۡاَزۡلَامُ رِجۡسٌ مِّنۡ عَمَلِ الشَّيۡطٰنِ فَاجۡتَنِبُوۡهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُوۡنَ ٩٠
اِنَّمَا يُرِيۡدُ الشَّيۡطٰنُ اَنۡ يُّوۡقِعَ بَيۡنَكُمُ الۡعَدَاوَةَ وَالۡبَغۡضَآءَ فِى الۡخَمۡرِ وَالۡمَيۡسِرِ وَيَصُدَّكُمۡ عَنۡ ذِكۡرِ اللّٰهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ ۚ فَهَلۡ اَنۡـتُمۡ مُّنۡتَهُوۡنَ ٩١
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) bahala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.
Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?”
Ayat di atas merupakan akhir dari tahap pengharaman khamr. Setelah ayat tersebut turun, maka khamr menjadi haram. Imam al-Qurthubi menyebutkan bahwa sampai-sampai sebagian masyarakat muslim mengatakan bahwa Allah SWT tidak pernah mengharamkan sesuatu yang sangat dahsyat kecuali khamr.
Adapun salah satu hikmah dari tahapan-tahapan pengharaman khamr ialah bukti bahwa Islam bukanlah agama yang memberatkan umatnya. Islam mengajarkan bahwa untuk mencapai suatu tujuan yang besar diperlukan tahapan yang tidak sebentar. Adapun juga menunjukkan bahwa untuk membiasakan suatu hal yang baru haruslah dimulai dari tahap yang paling mudah, tidak langsung kepada tahap yang sulit.
Penulis: Shofa Auliya Fa’izah/Komplek L Putri
Editor: Redaksi
Baca Juga:
