Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme
Perayaan Imlek di Indonesia tidak sekadar menjadi perayaan tradisional bagi etnis Tionghoa, namun juga mencerminkan bentuk perjuangan kemanusiaan yang dilakukan oleh Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid. Gus Dur, yang juga merupakan mantan Presiden Republik Indonesia ke-4 memiliki peran penting dalam menghapuskan diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa di tanah air.
Dalam melibatkan diri dalam perjuangan kemanusiaan, Gus Dur membela hak-hak masyarakat Tionghoa untuk merayakan Imlek secara terbuka dan bebas. Keberanian tersebut tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang diterapkannya, seperti pemberian kebebasan beragama, kepercayaan, dan tradisi kepada umat Konghucu melalui Ketetapan Presiden Nomor 6 Tahun 2000.
Baca Juga:
Maka dari itu, perayaan Imlek bukan hanya sebagai momen keagamaan, tetapi juga sebagai simbol perjuangan kemanusiaan yang diinisiasi oleh Gus Dur untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan menghargai keberagaman.
Perayaan Imlek mencerminkan semangat Bapak Pluralisme dalam mengedepankan toleransi dan persatuan antar umat beragama. Beliau menyoroti pentingnya kerjasama dan penghargaan terhadap perbedaan guna menciptakan masyarakat yang adil dan harmonis. Imlek bukan hanya menjadi simbol solidaritas sosial dan persaudaraan antar etnis, melainkan juga menjadi wadah untuk bersyukur dan merayakan kebersamaan dalam keragaman.
Dalam konteks sosial budaya di Indonesia, perayaan Imlek menandakan pentingnya keberagaman dan semangat toleransi sebagai modal sosial yang vital bagi bangsa. Perayaan ini tidak hanya memiliki makna bagi etnis Tionghoa, melainkan juga menjadi lambang semangat merawat harmoni dan memperkuat inklusivitas dalam masyarakat Indonesia.
Pentingnya Menerima Keberagaman Bangsa
Gus Dur mengajarkan pentingnya kesadaran terhadap kemajemukan dan keberagaman bangsa Indonesia sebagai realitas yang harus diterima dengan sikap humanisme. Saling menghargai, menghormati, dan toleransi di tengah segala perbedaan, baik itu etnis, suku, ras, maupun agama, adalah pesan utama yang diwariskan oleh Gus Dur. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gus Dur, “Tidak boleh ada pembedaan kepada setiap warga negara Indonesia berdasarkan agama, bahasa ibu, kebudayaan, serta ideologi.”
Sejarah Perayaan Imlek di Indonesia
Pada era Orde Baru (1968-1999), warga Tionghoa di Indonesia merayakan Tahun Baru Cina secara tertutup karena pemerintahan Orde Baru menerapkan sejumlah pembatasan. Ini termasuk penutupan sekolah berbahasa Cina, pelarangan pemutaran lagu Mandarin, dan pembatasan penggunaan huruf Cina. Permasalahan ini semakin memuncak ketika Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 dikeluarkan, yang melarang praktik agama, kepercayaan, dan tradisi Cina.
Ketika masa Reformasi 1998 dimulai, kondisi sulit bagi komunitas Tionghoa mulai berubah. Aturan diskriminatif terhadap mereka dicabut, dan hubungan dengan komunitas Tionghoa menjadi lebih terbuka. Di bawah kepemimpinan Presiden ke-4 ini, masyarakat Tionghoa mengalami perubahan positif. Gus Dur secara terbuka mendukung masyarakat Tionghoa dengan memperkenalkan konsep kebangsaan yang inklusif.
Baca Juga:
Salah satu bentuk upaya Gus Dur pada saat itu yaitu dengan mengeluarkan Ketetapan Presiden Nomor 6 Tahun 2000. Kebijakan tersebut memungkinkan umat Konghucu di Indonesia untuk merayakan Imlek secara terbuka dan memiliki kebebasan dalam menjalankan agama, kepercayaan, dan tradisi mereka. Akhirnya, Etnis Tionghoa kini dapat merayakan Hari Raya Imlek secara bebas dan terbuka.
Gus Dur tidak berhenti pada upayanya itu, setelah mengeluarkan Keppres yang melindungi hak kebebasan Etnis Tionghoa, pada tahun 2001, beliau melengkapi pengakuannya dengan menerbitkan Keppres Nomor 13 Tahun 2001 yang menetapkan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Fakultatif, untuk mereka yang merayakannya. Baru dua tahun kemudian, Presiden Megawati Soekarno Putri menetapkan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional.
Referensi:
editor: Manazila Ruhma