Tersesat di Tanah Rantau: Gengsi, Kesenjangan, dan Realita Mahasiswa

Tersesat di Tanah Rantau: Gengsi, Kesenjangan, dan Realita Mahasiswa
Sumber: Pinterest

Almunawwir.com- Di sudut-sudut kota besar, setiap tahun ribuan mahasiswa datang dari berbagai penjuru daerah. Membawa koper dan harapan, cita-cita, juga kekhawatiran. Mereka datang bukan sekadar untuk kuliah, tetapi untuk bertumbuh, mencari jati diri, dan menempuh jalan panjang menuju masa depan. Namun siapa sangka, dalam proses ini mereka justru dihadapkan pada salah satu ujian terberat bukan dari ruang kelas, tetapi dari lingkungan sosial yang membentuk standar baru seperti gaya hidup dan gengsi.

Mahasiswa perantauan adalah kelompok yang unik. Mereka menempuh hidup jauh dari keluarga, mengandalkan kiriman yang kadang tak pasti, menghadapi tantangan akademik, dan harus beradaptasi dengan budaya kampus yang asing. Namun di balik semua itu, mereka juga menghadapi tekanan sosial yang halus tapi kuat—tuntutan untuk “menyesuaikan diri” agar tidak tampak berbeda atau “terlalu kampungan”.

Kampus: Arena Ilmu atau Panggung Penampilan?

Secara umum, kampus adalah tempat yang demokratis—ruang di mana semua orang diperlakukan setara, tanpa memandang asal-usul, harta, atau bahkan penampilan. Sayangnya, realitas tidak selalu seperti itu. Di banyak lingkungan kampus, gengsi menjadi mata uang sosial yang menentukan siapa yang dianggap “layak berteman”, siapa yang masuk lingkaran pergaulan populer, dan siapa yang terpinggirkan secara diam-diam.

Mahasiswa dari keluarga berada bisa dengan mudah mengikuti gaya hidup “kekinian”: nongkrong di kafe mahal, pakai outfit branded, liburan setiap akhir semester. Sementara mereka yang hidup pas-pasan, terpaksa menjadi penonton, atau lebih buruk, ikut memaksakan diri. Inilah titik awal kesenjangan sosial di kampus. Bukan semata karena perbedaan materi, tetapi karena standar sosial yang dibentuk oleh budaya gengsi dan konsumtif.

Media Sosial dan Kemewahan yang Menyesatkan

Era digital memperparah keadaan. Media sosial menjadi etalase kehidupan yang penuh glamor, meski kadang hanya palsu. Mahasiswa dengan pengikut banyak di Instagram atau TikTok mendadak jadi panutan sosial, tak peduli isi kepala mereka. Konten-konten tentang “life goals”, “healing”, dan “daily routine aesthetic” menampilkan gaya hidup ideal yang sering kali jauh dari realitas mahasiswa rata-rata.

Dalam dunia maya itu, kita lupa bahwa realitas tak selalu seindah filter. Mahasiswa yang tampil mewah di media sosial mungkin sedang menumpuk utang demi konten. Sementara yang hidup sederhana malah dianggap tidak gaul, tak layak tampil. Budaya semacam ini menciptakan tekanan psikologis: minder, cemas, iri, dengki, bahkan kehilangan jati diri.

Titik Awal yang Berbeda, Tapi Tujuan Sama

 Kita semua datang dari latar belakang yang berbeda. Ada yang lahir dalam kelimpahan, ada yang harus membagi biaya hidup dengan saudara di rumah. Namun ketika semua berkumpul di kampus, perbedaan itu sering kali dianggap aib, bukan kenyataan yang wajar. Mahasiswa dari desa terpencil yang pertama kali naik pesawat dianggap “norak”. Yang hidup hemat karena keterbatasan ekonomi dianggap pelit atau tidak gaul.

Padahal, perbedaan itu adalah bagian dari keadilan sosial: bahwa manusia tidak memulai hidup dari garis start yang sama. Yang harus dikejar bukan kesamaan penampilan, melainkan keadilan peluang. Mahasiswa yang mampu membeli laptop canggih tidak lebih unggul dari yang mencatat di buku bekas, selama semangat belajarnya sama kuat.

Krisis Nilai: Ketika Penampilan Menjadi Segalanya

Gengsi menciptakan krisis nilai yang tak kasat mata. Mahasiswa mulai lebih peduli pada citra daripada substansi. Alih-alih fokus pada prestasi dan pengembangan diri, banyak yang lebih sibuk menjaga penampilan dan citra di media sosial. Bahkan tak jarang, uang beasiswa atau kiriman orang tua justru habis untuk keperluan konsumtif: baju baru, skincare mahal, makan-makan di tempat hits. Ilmu menjadi nomor sekian, yang penting terlihat sukses.

 Padahal, universitas bukanlah catwalk. Mahasiswa bukan selebritas. Pendidikan tinggi adalah kesempatan langka yang seharusnya dimanfaatkan untuk membentuk karakter, bukan memperindah tampilan. Ketika nilai-nilai spiritual, etika, dan integritas hilang, maka ijazah pun kehilangan maknanya.

Sudut Pandang Islam: Hidup Sederhana adalah Kemuliaan

مَنْ عَظَّمَ غَنِیًّا لِغِنَاهُ فَقَدْ ذَھَبَ ثُلثَُا دِیْنِهِ

“Barang siapa mengagungkan orang kaya karena kekayaannya, maka lenyaplah dua pertiga agamanya”.

Dalam konteks Islam, hidup sederhana adalah nilai luhur. Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin mengingatkan bahwa orang yang mengagungkan kekayaan karena hartanya telah kehilangan dua pertiga agamanya. Ini bukan sekadar sindiran, tapi peringatan: bahwa kemuliaan bukan pada harta, melainkan pada akhlak dan keikhlasan hati.

Mahasiswa yang memegang prinsip kesederhanaan sejatinya telah selangkah lebih dekat pada kematangan spiritual. Mereka tidak silau pada dunia, tidak tertipu oleh citra. Mereka tetap teguh menapaki jalan ilmu, meskipun jalannya berbatu. Di tengah dunia kampus yang semakin konsumtif, mereka adalah suara nurani yang selalu bersikap positif.

Menggagas Solusi: Kampus yang Inklusif dan Manusiawi

Menurut saya masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan sekadar motivasi individual. Diperlukan sistem yang mendukung. Kampus harus aktif menciptakan atmosfer inklusif: ruang diskusi gratis, komunitas mahasiswa lintas ekonomi, bahkan pelatihan literasi keuangan untuk menghindarkan mahasiswa dari gaya hidup konsumtif.

Pendidikan karakter dan spiritual harus dihidupkan kembali. Mahasiswa tidak cukup dibekali pengetahuan, tapi juga nilai: empati, tanggung jawab, dan kesadaran sosial. Komunitas mahasiswa juga harus menjadi ruang yang mendukung, bukan menghakimi. Budaya pamer harus diganti dengan budaya berbagi. Gaya hidup hedonistik perlu dikritik, bukan ditiru.

Empati: Kunci untuk Membangun Kesetaraan Sosial

Empati adalah jembatan yang bisa menyatukan jurang sosial yang dalam. Mahasiswa yang peka akan lebih bijak dalam menilai teman. Ia tidak akan memaksa orang lain mengikuti gaya hidupnya, tidak memamerkan apa yang ia punya, dan tidak mengukur nilai manusia dari harga barang yang dikenakan.

Sementara mahasiswa dari latar belakang sederhana pun tidak perlu merasa minder. Kesederhanaan bukan kutukan, tapi berdiri dengan penuh kemandirian. Banyak tokoh besar yang lahir dari keterbatasan, dan justru karena itulah mereka kuat. Kesederhanaan, jika dibarengi semangat belajar dan kejujuran, adalah modal keberhasilan yang sejati.

Penutup: Saatnya Menjemput Ambisi, Bukan Terjebak Gengsi

Menjadi mahasiswa perantauan adalah kisah perjuangan, bukan ajang perbandingan. Di tengah gemerlap kota dan tuntutan zaman, tak semua hal perlu ditiru demi pengakuan. Hidup sederhana bukan kekurangan—ia adalah keberanian untuk tak tenggelam dalam kepalsuan.

Kampus bukan catwalk gengsi, melainkan taman ilmu dan harga diri. Di sanalah akal diasah, nilai dijaga, dan jati diri dibina. Maka berhentilah berpura-pura kaya untuk diterima, atau pura-pura mampu demi dianggap sama. Yang sejati bukan mereka yang tampil sempurna, tapi mereka yang tetap jujur meski tak bergelimang rupa.

Ukurlah dirimu bukan dari pakaian yang kau kenakan, tapi dari semangat yang kau kobarkan. Nilai dirimu bukan dari tempatmu nongkrong, tapi dari langkah yang kau tempuh untuk maju dan tumbuh.

Kini, saatnya berani berdiri!

Menjemput ambisi, bukan terjebak gengsi.”

Penulis: Gesang Nanda Saudjana

Redaksi

Redaksi

admin

545

Artikel