Cita-cita KH. Munawwir Sebagai Ulama Al-Qur’an Nusantara

Cita-cita KH. Munawwir Sebagai Ulama Al-Qur’an Nusantara

Almunawwir.com – خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ (Sebaik-baik kalian adalah yang mau belajar Al-Qur’an dan yang mengajarkannya).[1] Berdasarkan hadis tersebut, kita dapat mengetahui bahwa begitu mulianya orang yang berinteraksi dengan Al-Qur’an baik orang yang belajar atau mengerjakannya. Ia akan menjadi salah satu dari sekian golongan umat Nabi yang terbaik.

Di lingkungan kita sebagian besar di Mushola, Masjid bahkan rumah sudah banyak orang yang membuka pengajian Al-Qur’an. Hal ini dilakukan agar masyarakat mampu untuk menjadi umat Nabi yang berpegang teguh kepada wasiatnya. Diharapkan masyarakat tidak tersesat dalam mengarungi kehidupannya.

Ulama Al-Qur'an
Sumber Gambar: pexels.com

Sejalan dengan fungsi Al-Qur’an itu sendiri yaitu salah satunya sebagai petunjuk bagi manusia.[2] Dalam belajar dan mengajar suatu ilmu pastilah tidak terlepas dari keberadaan seorang guru. Guru memiliki peran penting dalam keberlangsungan suatu pembelajaran.

Begitu pula dalam belajar-mengajar Al-Qur’an. Seorang guru sekalipun harus memiliki sanad Al-Qur’an yang bersambung hingga Nabi Muhammad SAW. Hal ini penting keberadaannya. Karena jika tidak demikian, ditakutkan seseorang akan mengajarkan Al-Qur’an sesuai dengan hawa nafsunya saja.

Mengingat pentingnya sanad dalam belajar Al-Qur’an, agaknya kita perlu mengetahui sanad Al-Qur’an di Nusantara. Sanad tertua Al-Qur’an di Nusantara salah satunya ada KH. Muhammad Munawwir.

Baca juga:

Kiai Munawwir atau biasa disebut dengan Mbah Munawwir lahir di Kauman, Yogyakata. Beliau pertama kali belajar Al-Qur’an kepada ayahnya yaitu Kiai Abdullah Rosyad. Kemudian beliau melanjutkannya ke tanah haramain kepada Syeikh Yusuf Hajar beserta dengan qira’at sab’ah-nya.

Lalu beliau kembali ke Yogyakarta pada tahun 1911. Pada tahun itu pula, beliau mendirikan pondok yang sekarang dikenal dengan Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak. 

Bagi santri Krapyak mungkin sudah tidak asing lagi bagaimana metode-metode yang diterapkan Pondok Pesantren Al-Munawwir kepada santri-santrinya. Hal tersebut dilakukan dengan harapan yang memang telah dicita-citakan oleh para masyayikh sebelumnya.

Misalnya dalam mengaji Al-Qur’an, para santri Al-Munawwir akan mempelajari bagaimana penekanan tajwid yang diberlakukan. Harapannya, para santri mampu menjaga dengan baik hak-hak huruf yang dilantunkannya. Serta masih banyak lagi metode lain yang diterapkan di pondok Krapyak. 

Para santri Al-Munawwir agaknya perlu mengetahui lebih dalam terkait harapan masyayikh Krapyak kepada para santrinya. Terlebih khodimul ma’hadnya sendiri yakni KH. Muhammad Munawwir bin Abdullah Rosyad yang dapat diketahui melalui maqolah atau haliyah.

Sebagaimana yang disampaikan oleh para dzuriyah atau santri yang pernah bermuwajahah langsung. Dari mereka lah. tentu kita akan mendapatkan nilai lebih dari wejangan Mbah Munawwir daripada melihat nasihat-nasihat yang tersebar di media mainstream

Adanya pengetahuan akan harapan para masyayikh kedepannya tentu akan menjadikan santri mengetahui kemana arah kakinya akan melangkah. Jika sudah demikian, santri tidak akan kepaten obor atau hubungan antara murid dan guru terputus.

Baca juga:

Sebaliknya, jika santri memang tidak mengikuti isyarat pengarahan yang diberikan gurunya akan rawan mengalami kehilangan arah di tengah liku jalan kehidupannya. Ditambah lagi, santri yang tidak mengikuti arahan guru seakan-akan menciderai ikhtiar yang telah beliau bangun. 

Mengetahui bagaimana harapan Mbah Munawwir akan santrinya selain dengan cara yang telah disebutkan sebelumnya, dapat pula kita melihat dan memahami do’a yang beliau panjatkan.

Jika berkaitan dengan mencetak generasi yang qurani akan lebih tepat jika kita melihat doa beliau ketika khataman Al-Qur’an. Karena di dalamnya tersirat harapan beliau untuk para santrinya ke depannya kelak. 

Salah satu dari sekian do’a yang beliau panjatkan adalah : 

وارزقنا فضل من قرأه مؤديا حقه معالأعضاء والقلب واللسان
Dan berikanlah kepada kami, keutamaan bacaan orang yang memenuhi hak-haknya (AlQur’an) dengan anggota badan, hati, dan lisannya[3]

Dalam do’a tersebut Mbah Munawwir menginginkan santrinya mendapatkan keutamaan dari orang yang membaca Al-Qur’an yang memenuhi hak-hak Al-Qur’an, baik lisan, hati, dan seluruh anggota badannya.

Jika kita naikkan lagi maksud dari doa tersebut. Maka, Mbah Munawwir menginginkan seluruh santrinya menjadi orang yang istiqomah dalam membaca Al-Qur’an serta memenuhi hak-haknya. 

Baca juga:

Memenuhi hak Al-Qur’an dari segi lisan misalnya. Orang yang belajar Al-Qur’an atau seorang santri yang menghafalnya hendaknya memenuhi hak-hak huruf yang ada pada Al-Qur’an. Hal ini dapat dilakukan dengan mempelajari shifatul huruf, makharijul huruf, hukum-hukum tajwid, dan lain sebagainya. 

Sedangkan memenuhi hak Al-Qur’an dari segi hati. Yaitu bagaimana seseorang menjaga agar hatinya tidak condong kepada selain Al-Qur’an, yakni terhadap hal-hal yang besifat duniawi. Sehingga ia akan sibuk tertuju pada Al-Qur’an dan merenungi kandungannya.

Sebab Al-Qur’an sendiri tidak mau dimadu (diduakan). Siapa saja yang menduakannya maka Al-Qur’an akan menduakannya pula.

Terakhir, memenuhi Al-Qur’an dari segi perbuatan adalah sikap bagaiamana seseorang yang mempelajari Al-Qur’an atau para huffadz yang mampu menyelaraskan segala bentuk perilakunya dalam meneladani Al-Qur’an.

Hal ini tidaklah mudah, tapi bukan berarti juga tidak mungkin dilakukan. Sebab orang yang perilakunya benar-benar selaras dengan Al-Qur’an secara sempurna hanyalah Nabi Muhammad Saw.[4] Sehingga dalam menyelaraskan perilaku dengan Al-Qur’an ini tidak bisa dicapai tanpa menirukan apa yang telah ditauladankan Nabi Muhammad SAW.

Pada akhirnya, Mbah Munawwir dalam merealisasikan ketiga poin di atas, beliau melakukan beberapa program pembelajaran yang beliau contohkan. Misalnya agar memenuhi hak Al-Quran dari segi lisan. Beliau melakukan pengawasan yang ketat dalam segi tajwidnya, hal ini bisa dirasakan hingga saat ini.

Dari segi hati, beliau mencontohkan agar memiliki riyadhoh ketika belajar, terlebih menghafalkan Al-Qur’an. Hal ini beliau contohkan karena dengan riyadhoh, Al-Qur’an akan menetap di dalam hati dan tertancap di dalamnya.

Baca juga:

Adapun dalam memenuhi hak Al-Qur’an dengan menggunakan anggota badan, Mbah Munawwir menginginkan agar kajian-kajian kitab tetap berjalan. Hal ini dapat diperkuat dengan adanya putri beliau yang menikah dengan KH. Ali Maksum Lasem yang terkenal dengan keahliannya dalam mendalami kitab kuning.

Hadirnya Mbah Ali sebagai peran ulama yang mampu membantu pemahaman-pemahaman di luar Al-Qur’an. Tidak menutup kemungkinan pula, pengajaran kitab kuning diperlukan agar mengetahui bagaimana suatu lisan dan hati dapat selaras dengan Al-Qur’an.

Ditulis oleh: Ahmad Aklilul Muntaha, santri Komplek L (Partisipasi Penulis Semarak Haul KH. M. Munawwir bin Abdullah Rosyad ke-84)

Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan terjemahannya.
Bukhari, Imam. Shahih Bukhari.
Muslim, Imam. Shahih Muslim.
Al-Munawwir,Ahlein. Al Munawwiriyah (2021).
KH Munawwir dan Sanad Keilmuwan Al-Quran di Nusantara (2022). Diakses pada tanggal 26 Desember 2022 dari https://pecihitam.org/khmunawwir-dan-sanad-keilmuanal-quran-di-nusantara/


[1] HR. Bukhari 5027
[2] Al-Baqarah (2:185)
[3] Al-Munawwiriyah, halaman 2
[4] (كان خلقه القران) “Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an”. HR Muslim, no.1233

Redaksi

Redaksi

admin

532

Artikel