Almunawwir.com – Al-Qur’an sebagai kalamullah mengandung konsekuensi makna bahwa tidak ada keraguan di dalamnya. Al-Qur’an juga merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah: “Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Qur‟an dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya”.
Ada banyak ta’rīf yang dikemukakan para ulama untuk mendefinisikan Al-Qur’an, di samping Al-Qur’an itu sendiri telah memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifatnya. Seperti Al-Furqān (pembeda), Al-Hudā (petunjuk), Al-Bayān (penjelas), dan sebagainya.
Tetapi ada satu istilah dalam Al-Qur’an yang cukup menarik sebab ia berbeda dari sifatnya yang lain yakni qawlan tsaqīlan (perkataan yang berat), yang tercantum pada QS. Al-Muzammil ayat 5: “sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu.”.
Al-Qur’an sebagai qawlan tsaqīlan ini tentu memberi kesan yang berbeda ketika disandingkan dengan ayat lain yakni QS. Thaha ayat 2: “tidaklah Kami menurunkan Al-Qur’an kepadamu agar kamu merasa susah”. Sebab sesuatu yang berat biasanya berkaitan dengan kesulitan, dan kesulitan ialah sesuatu yang dianggap melebihi kemampuan atau kesanggupan.
Baca juga: KH Mustofa Bisri: Bersyukur Hidup Di Zaman Akhir
Lantas, mengapa Al-Qur’an dengan berbagai fungsi dan kelebihannya justru disifati sebagai perkataan yang berat?
Pemahaman terkait Al-Qur’an sebagai qawlan tsaqīlan ini dengan sangat indah terpancar dari sosok tauladan ummat. Seorang ‘alim dari tanah Jawa pertama yang berhasil menguasai qirāat sab’ah, KH. M. Munawwir Krapyak. Beliau, Mbah Munawwir merupakan putera kedua dari KH. Abdullah Rosyad dan Nyai Khadijah yang dilahirkan di Kauman, Yogyakarta.
Keberhasilannya dalam mencetak generasi penghafal Al-Qur’an yang terus menyebar di seluruh penjuru Nusantara membuat namanya harum hingga saat ini. Mari kita lihat, seperti apa interaksi seorang tauladan Qur’ani–Mbah Munawwir dengan Al-Qur’an?
Dinukil dari manaqib beliau, ada beberapa tahapan yang dilakukan semasa beliau menekuni Al-Qur’an: setiap 7 hari 7 malam mengkhatamkan Al-Qur’an selama 3 tahun. Kemudian durasi mengkhatamkan beliau persempit menjadi setiap 3 hari 3 malam untuk satu kali khatam dan dilaksanakan selama 3 tahun.
Lalu setiap satu hari satu malam beliau mengkhatamkan Al-Qur’an satu kali selama 3 tahun. Dan yang terakhir, beliau melakukan riyadhah selama 40 hari membaca Al-Qur’an tanpa berhenti.
Baca juga: Mengenal “KH. Muhammad Munawwir” melalui cerita “Gus Mus”
Setelah berhasil menjalani tiap tahapan tersebut, beliau terus mengkhatamkan Al-Qur’an satu kali dalam satu minggu, yaitu pada hari kamis sore. Demikianlah Al-Qur’an beliau wiridkan sejak berumur 15 tahun hingga wafat.
Ketika melihat sesosok hāfidz Al-Qur’an. Kita seringkali ingin tahu bagaimana cara mereka “merayu” Tuhan sehingga mereka dikaruniai nikmat yang begitu besar berupa hafalan Al-Qur’an. Pertanyaan seperti ini akan menghasilkan jawaban berupa amalan ataupun riyadhah yang harus dilakukan. Seperti halnya tahapan menghafal Al-Qur’an yang didawamkan oleh Simbah Yai di atas.
Namun, pernahkah terpikirkan sebenarnya untuk apa Mbah Munawwir berjuang melakukan semua tahapan tersebut? Apakah untuk melafalkan Al-Qur’an dengan lanyah? Jika jawaban dari pertanyaan tersebut adalah “iya”, maka sebenarnya beliau cukup berhenti hanya pada tahapan pertama dan konsisten dengannya.
Tetapi, tidak. Amal yaumiyyah dan intensitas interaksi beliau dengan Al-Qur’an merupakan bukti pemahaman beliau terhadap Al-Qur’an sebagai qawlan tsaqīlan. Sebagaimana para sahabat tidak jarang melihat kedua telapak kaki Kanjeng Nabi saw. bengkak-bengkak setelah melakukan sholat dengan bacaan Al-Qur’an yang panjang.
Padahal, Kanjeng Nabi saw. merupakan seorang yang ma’shūm. Hal ini menggambarkan bahwa Al-Qur’an ketika diposisikan sebagai qawlan tsaqīlan mengisyaratkan sebuah tanggung jawab yang sangat besar bagi Kanjeng Nabi sebagai penerima wahyu Al-Qur’an.
Baca juga: Resep Amal Sederhana tapi Berbobot, Ucapkan Hamdalah
Di sisi lain, Wahbah Az-Zuhaily di dalam Tafsir Al-Munīr menjelaskan bagaimana posisi Al-Qur’an sebagai qawlan tsaqīlan. Ialah Al-Qur’an yang merupakan bacaan yang sangat berat atau menakutkan. Sebab di dalamnya ada beban-beban kewajiban yang berat bagi manusia, perintah dan larangan yang sulit bagi diri manusia, serta batas-batas halal dan haram.
Kata “berat” di sini juga bisa dimaksudkan dalam hal penerimaan wahyu ketika merujuk kepada salah satu hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a:
“Bahwasanya Nabi Muhammad saw. jika mendapatkan wahyu sementara dia ada di untanya, unta meletakkan dadanya di tanah, Dia tidak bisa bergerak sampai wahyu berlalu”.
Dari sini kemudian terlihat jelas bahwa tahapan riyadhah yang dilakukan Mbah Munawwir sebenarnya adalah bentuk dalamnya pemahaman beliau akan posisi Al-Qur’an sebagai qawlan tsaqīlan.
Seolah tidak cukup dengan tahapan riyadhah Al-Qur’an yang beliau lakukan Mbah Munawwir juga mendawamkan ibadah dan amalan sehari-hari. Seperti sholat sunnah rawatib, sholat witir, sholat isyraq, sholat dhuha, dan sholat tahajjud.
Amal yaumiyyah beliau ini selaras dengan perkataan Al-Husain bin Al-Fadhl yang dikutip oleh Az-Zuhaily bahwa perkataan yang berat (qawlan tsaqīlan) itu tidak bisa ditanggung kecuali oleh hati yang dikuatkan dengan taufik, dan jiwa yang dihiasi dengan tauhid.
Baca juga: Membentuk Intelektual Ulama
Dari sini dapat terlihat bahwa Al-Qur’an sebagai qawlan tsaqīlan menuntut kesungguhan dan konsistensi, seperti apa yang didawamkan oleh Mbah Munawwir.
Konsistensi dan ta’zhīm beliau terhadap Al-Qur’an menggambarkan sejauh mana kebijaksanaan beliau dalam memahami makna qawlan tsaqīlan yang diperjuangkan melalui berbagai riyādhah dan mujāhadah, yang mungkin tidak mudah untuk memulai dan mendawamkannya.
Mbah Munawwir berhasil menjadi contoh nyata bahwa Al-Qur’an sebagai qawlan tsaqīlan bukanlah sesuatu yang syaqiyyan, yang membuat susah. Al-Qur’an sebagai qawlan tsaqīlan adalah sebuah keniscayaan, sebab ia merupakan firman Tuhan yang di dalamnya berisikan berbagai perintah dan larangan serta batasan-batasan.
Ia juga ”berat” dalam artian tidak ada yang mampu menandingi keotentikannya. Dalam istilah lain disebutkan oleh Ibnu Zaid: “Al-Qur’an itu perkataan berat yang diberkahi, sebagaimana berat di dunia, dia juga berat timbangannya pada hari Kiamat.”.
Spirit menjaga Al-Qur’an sebagai qawlan tsaqīlan yang Mbah Munawwir tanamkan semasa hidup justru tumbuh dan berkembang ke seluruh penjuru Nusantara. Maka tidaklah mengherankan jika “perkataan yang berat” yang beliau perjuangkan di dunia, pada dimensi lain berbuah pahala dan rahmat yang luas oleh Rabb al-Izzah.
Sebab sosok KH. Munawwir begitu erat terikat dengan Al-Qur’an, dan orang-orang yang terikat dengan Al-Qur’an merupakan salah satu kategori manusia terbaik berdasarkan sabda Nabi saw.:
“khairukum man ta’allama Al-Qur‟an wa ‘allamahu”
(sebaik-baiknya seseorang adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengamalkannya).
Referensi:
Wahbah Az-Zuhaily, Tafsir Al-Munir Jilid 15. (Jakarta: Gema Insani, 2018).
Majlis Ahlein, Manaqibus Syaikh: K.H.M. Moenauwir Almarhum: Pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta, (1975).
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Jakarta: Penerbit Mizan, 1994).
Muhammad Abd Al-Azhim Az-Zarqany, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur‟an Juz 1, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiy, 1995)
Penulis: Sofia Mawaddah Al Insyirah Komplek R2, Pemenang Juara 1 dalam acara Lomba Esai Haul KH. M. Munawwir ke-84