Almunawwir.com – Bagi para pengkaji Quran, siapa yang tak mengenal sosok ulama kharismatik dari pesisir Pulau Jawa ini. Ia yang disebut sebagai penyambung sanad Quran yang masyhur di nusantara. Bahkan, menurut suatu riwayat hampir semua ‘pesantren Quran’ di Jawa ini tersambung kepadanya. Tersebutlah KH. Muhammad Munawwir Krapyak.
KH. Muhammad Munawwir bin KH. Abdullah Rosyad bin KH. Hasan Bashori, lahir di kampung Kauman Yogyakarta dari pasangan KH. Abdullah Rosyad dengan Ny. Khodijah.
Eyang KH. M. Munawwir (KH. Hasan Bashori) adalah ajudan Pangeran Diponegoro. Ia pernah mendapat tugas dari Pangeran Diponegoro untuk merebut daerah Kedu dari tangan penjajah Belanda waktu itu. Hal ini bisa diketemukan dalam secarik surat tugas yang diberikan kepadanya.

Baca juga: ‘Membangun Keistimewaan’: Peran Awal KHM Munawwir dalam Menata Kehidupan Sosial Keagamaan di Yogyakarta 1910-1942.
“Surat ini datang dari saja kandjeng Gusti Pangeran Diponegoro serta Pangeran Mangkoe Boemi di Djogyakarta Adiningrat kepada semoea teman di Kedoe, menjatakan bahwa sekarang negeri Kedoe sudah saja minta. Orang semuanja mesti tahoe akan hal ini, laki-laki, perempuan, besar ketjil, tidak perloe diseboetkan satoe persatoe. Adapoen orang jang saja soeroeh namanja Kasan Besari, djikaloe soedah mengikoeti soerat oendangan saja ini biarlah lekas sedia sendjata, biar reboet negeri dan betoelkan agama rasoel. Djikalaoe ada jang berani tiada maoe pertjaja akan boenjinja soerat saja, maka dia saja potong lehernya.” Kamis tanggal 5 boelan Hadji tahoen Be (31 – Djoeli– 1825).
KH. Hasan Bashori menikah dengan puteri K. Nor Jalifah, Trenggalek. Atas pernikahan tersebut mereka dikaruniai tujuh orang putra dan putri, antara lain K. Moh Hamin, Kauman, Yogyakarta; Ny. Misbah, Rejondani; Ny. Hasan Muhtar; K. Abdullah Rosyad, Dongkelan; Ny. Ali, Muntilan; K. Muhaiyat, Tukangan, Yogyakarta; dan K. Abdurrahman.
Sejak dulu, KH. Hasan Bashori ingin sekali menghafalkan kitab Suci Al-Qur′an. Setelah ia mencoba berkali-kali merasa berat, maka ia melakukan riyadhoh dan mujahadah sekitar 10 tahun. Akhirnya mendapat ilham, bahwa apa yang dicita-citakan itu baru akan dianugerahkan pada keturunannya.
………………………………..
Baca juga: Kunci Menjadi Muslim yang Berintegritas
K. Abdullah Rosyad yang merupakan ayah KH. M. Munawwir mempunyai empat istri yakni, Ny. Khodijah, Bantul; R. Ayu, Ngadinegaran; Ny. Zainab, Wonocatur; dan Ny. Thoyibah, Bantul. Dari pernikahan K. Abdullah Rosyad dan Ny. Khadijah dikaruniai 8 putra, yakni KH. Mudzakkir (ayah Prof. Abd. Kahar Mudzakkir); KH. M. Munawwir; K. Muhdi; K. Amiruddin (wafat 16-7-1941); K. Abd. Rahman; Ny. Ma′shum; Ny. Romiyah; dan Ny. Kubrodini (wafat tahun 1957).
Sebagaimana ayahnya yang berusaha menghafal Al-Qur’an, beliau juga melakukan sebuah riyadhoh dan mujahadah selama 9 tahun. Namun ketika di tanah suci Mekah, beliau mendapatkan ilham seperti halnya ayahnya, bahwa yang akan dianugerahi hafal Al-Qur’an adalah anak dan cucunya.
Dari sejarah singkat tersebut setidaknya dapat kita lihat sebuah laku riyadhoh. Keberhasilan KH. M. Munawwir sebagai maha guru Al-Qur’an tanah Jawi tidak bisa dilepaskan dari washilah riyadhoh para pendahulunya. Riyadhoh dapat diartikan sebagai sarana mengantarkan diri lebih lanjut pada tingkat kesempurnaan, yaitu mencapai hakikat.
Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, yang banyak melahirkan ulama ahli qira’at dari masa ke masa ini juga tak lain merupakan buah riyadhoh para pendiri (muasis). Jika boleh mengambil perumpamaan, sebuah bangunan akan kokoh nan menjulang tinggi manakala ia dilandasi pondasi yang kuat pula. Pondasi ini dalam kehidupan bisa kita artikan sebagai riyadhoh.
Mengenal KH. Muhammad Munawwir
Di usia anak-anak, KH. M. Munawwir sudah dititipkan di sebuah pesantren di Bangkalan yang diasuh oleh KH. Maksum. Di pesantren inilah bakat kefasihan KH. M. Munawwir dalam membaca Al-Qur′an mulai tampak. Inilah yang mendorong KH. Maksum mempercayakan KH. M. Munawwir untuk menjadi imam salat, saat masih berusia 10 tahun. Selain KH. Maksum, beberapa gurunya antara lain KH. Abdullah, Kanggotan, Bantul; KH. Kholil, Bangkalan, Madura; KH. Sholih, Darat, Semarang; KH. Abdur Rahman, Watucongol, Muntilan, Magelang.
Setelah belajar kepada ulama Nusantara tersebut, M. KH. M. Munawwir meneruskan belajar ke Mekah pada tahun 1888 M. Di kota ini beliau menetap selama enam belas (16) tahun untuk mengkhususkan belajar Al-Qur′an dan ilmu-ilmu pendukungnya, seperti tafsīr dan qirā′ah sab‘ah. Setelah belajar di Mekkah al-Mukarramah, kemudian berpindah ke Madinah al-Munawwarah. Di Haramain (red: 21 tahun) tersebut beliau berguru pada Syaikh Abdullah Sanqara, Syaikh Syarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrahim Huzaimi, Syaikh Manshur, Syaikh Abdus Syakur, Syaikh Musthafa, dan Syaikh Yusuf Hajar (guru dalam qira’ah sab’ah).
Di kota suci ini, selain berhasil menghafal Al-Qur′an 30 juz dengan qirā′ah sab‘ah (bacaan tujuh), kesuksesan ini sekaligus menjadikannya tercatat sebagai ulama pertama Jawa yang berhasil menguasai qirā′ah sab‘ah. Hal ini menjadi embrio atas lahirnya pesantren-pesantren Al-Qur’an di Nusantara.
KH. M. Munawwir wafat pada tanggal 11 Jumadil Akhir 1360 H/06 Juli 1942 M di rumahnya, di pondok pesantren Krapyak Yogyakarta.
Riyadhoh KH. M. Munawwir
Di kalangan pesantren, riyadhoh disebut juga tirakat. Dalam Kamus Al-Munawwir karya KH. A. Warson Munawwir, riyadhoh memiliki arti latihan. Artinya, sebuah ritual penempaan diri untuk penguatan spiritual. Menurut Kiai Said Aqil Siradj, riyadhoh adalah jalan menuju keberhasilan ilmu untuk kebermanfaatan dan derajat yang tinggi, serta untuk mencapai kemuliaan dunia dan akhirat.
KH. M. Munawwir dalam menghafal memiliki suatu riyadhoh Al-Qur’an. Pada tiga tahun pertama, beliau mengkhatamkan Al Qur′an selama tujuh hari tujuh malam. Tiga tahun selanjutnya, beliau mengkhatamkan Al-Qur′an dalam waktu tiga hari tiga malam. Kemudian tiga tahun terakhir, selama sehari semalam beliau mengkhatamkan Al-Qur′an. Bahkan menurut muridnya, setelah melalui tiga tahapan itu, Kyai M. Munawwir pernah khatam Al-Qur’an tanpa henti selama 40 hari, hingga bibirnya berdarah.
Bentuk riyadhoh KH. M. Munawwir juga tergambar dari hal-hal sederhana yang beliau lakukan dan biasakan sehari-hari. KH. M. Munawwir sosok yang disiplin, penuh kesabaran, dan memiliki tekad yang kuat untuk mempelajari ilmu Al-Qur’an, khususnya tahfidzul Qur’an. Beliau memiliki riyadhoh Al-Qur’an dengan menghatamkannya dalam setiap waktu. Beliau selalu mendawamkan wudhu, meluangkan waktu untuk mengajar Al-Qur’an, dan selalu ingat kepada para leluhur (tawassul).
Begitu besar pengagungan beliau terhadap Al-Qur’an, dalam memegang mushaf Al-Qur’an misalnya. Beliau selalu dalam keadaan suci dari hadas. Selain itu, KH. M. Munawwir selalu mewiridkan Al-Qur’an setiap ba’da Ashar dan Shubuh. Meskipun hafalan Al-Qur’an telah melekat di benaknya, beliau sering nderes menggunakan mushaf dan mengkhatamkannya sekali tiap satu minggu, yakni pada hari Kamis Sore. Menurut suatu catatan, bahwa beliau telah mewiridkan hafalan Al-Qur’an sejak umur 15 tahun.
Keseharian beliau dalam berpakaian selalu indah dipandang. Pakaiannya rapi disetrika, dengan penutup kepala yang tak pernah dilepaskan. Meski demikian, setiap setengah bulan sekali beliau memotong rambut. Diselingi memotong kuku rutin tiap Jum’at sekali.
Baca juga: Pengantar Ilmu Qira’at (8): Hubungan Qiraat dengan Istinbat Hukum
Menyoal ibadah, KH. M. Munawwir selalu berusaha menunaikan salat fardhu di awal waktu, juga melanggengkan salat sunah rawatib dan salat witir 11 raka’at dengan bacaan hafalan Al-Qur’an yang selalu dilanggengkan di tiap raka’atnya. Beliau selalu bermudawamah dengan salat isyroq, salat dhuha, dan salat tahajud.
Dari riyadhoh dan keistiqomahannya, KH. M. Munawwir berhasil mencetak ulama Al Qur’an yang nantinya meneruskan jejak perjuangan di daerah masing-masing antara lain, KH. Arwani Amin (Kudus), KH. Ahmad Badawi Abdur Rosyid (Kaliwungu), KH. Zuhdi (Kertosono), KH. Ahmad Umar Abdul Manan (Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan Solo), KH. Nor (Kertosono), KH. Muntaha (Pesantren Al-Asy’ariyyah, Kalibeber Wonosobo), KH. Murtadlo (Cirebon), KH. Ma’shum (Gedongan, Cirebon), dan kyai lainnya.
Demikian riyadhoh KH. M. Munawwir sebagai bentuk kecintaannya kepada Al-Qur’an. Sehingga, semua yang beliau lakukan telah mencerminkan akhlaq Al-Qur’an. KH. M. Munawwir merupakan sosok figur (role model) teladan bagi siapa yang mengenal beliau, bagi keluarga, para santri di penjuru manapun, juga bagi masyarakat.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita sebagai santri untuk meneladani beliau, khususnya dalam belajar ilmu Al-Qur’an. Seperti membiasakan diri dalam kebaikan, menggiatkannya menjadi sebuah ketaatan, dan menjadikannya sebagai motivasi diri agar terus semangat menekuni ayat-ayat Allah Swt., secara tekstual maupun kontekstual.
Teringat satu maqolah KH. M. Munawwir, bahwa “Buah dari Al-Qur’an adalah kebahagiaan dunia dan akhirat”, tentu dibarengi dengan riyadhoh. Demikian merupakan sebuah pecut bagi para santri dalam menekuni ilmu Al-Qur’an. Wallahua’lam.
Editor: Muhammad ‘Ainun Na’iim
Sumber bacaan:
1. Aliy As’ad, dkk, Manaqibus Syaikh K.H.M. Moenauwir: Pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, (Yogyakarta: Pesantren)
2. Muhammad Shohib, Ed.. Para Penjaga Al-Qur’an: Biografi Huffaz Al-Qur’an di Nusantara, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kemenag, 2011), hal. 22.
3. Dan sumber-sumber terkait.