Seorang santri yang baru beberapa hari mondok diperintah oleh Kiai membeli kitab di toko seberang pondok.
“Tolong belikan kitab seperti ini ya”, dawuh Kiai.
“Injih, Kiai”, jawab santri tersebut.
Kemudian berangkatlah santri itu ke toko tersebut. Sesampainya di sana, kebetulan suasana toko sedang sepi. Santri melihat si pemilik toko, dibantu pegawainya, sedang sibuk menata kitab-kitab yang baru datang di rak-rak lemari. Barangkali karena kesibukannya, si pemilik toko tidak sempat menyapa, tetapi sekedar menyambut dengan melempar senyum kepadanya.
“Pak, mau beli kitab ini. Ada gak ya?”, kata si santri sambil menunjukkan sampul sebuah kitab kuning kepada pemilik toko.
Barangkali juga karena masih agak repot, si pemilik toko enggan beranjak dari bangku tempat dia mengatur kitab-kitab. Dari kejauhan, pemilik toko hanya bertanya begini: “Judulnya apa?”
Baca Juga: “Ayahku Sayang”: Kisah Gadis Kecil yang Ditinggal Mati Ayahnya
“E…, e…, Umaryoto, pak.”
“Apa?”, tanya si pemilik toko.
“Umaryoto”, jawab santri dengan nada yang agak dikeraskan.
“Apa?! Ulangi!”, kata pemilik toko dengan nada yang tak kurang kerasnya.
“Umaryoto!”, kata santri dengan nada yang semakin keras dan semakin mantab.
Melihat nada santri yang sedemikian keras dan mantab itu, si pemilik toko akhirnya mengalah dan mendekat ke tempat santri berdiri. “Coba sini lihat kitabnya”, kata pemilik toko dengan dahi yang sedikit berkerut tanda penasaran.
“Ooo, Imrithi….”, katanya.
[Cerita ini disampaikan oleh KH. Hasyim Muzadi sewaktu berkunjung ke Khartoum Sudan, guna melantik pengurus baru PCI NU Sudan, tahun 2002.]