Mengingat Allah Dan Berpikir Tentang Ciptaan Allah

Mengingat Allah Dan Berpikir Tentang Ciptaan Allah

Oleh: KH Munawwir Abdul Fattah

Hal yang akan kami sampaikan pada kesempatan ini ialah hal yang paling mengesankan bagi Siti Aisyah. Suatu ketika sahabat Ibnu Mardiwaih dan Atha’ mengunjungi Siti Aisyah, kemudian ia bertanya, “Wahai Aisyah, apakah yang paling mengesankan bagimu tentang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam?”

Yang ditanya hanya menangis tersedu. Jawab Aisyah, “Semua yang diperbuat Rasulullah teramat mengesankan bagiku. Kalau aku harus menyebutkan yang paling berkesan adalah pada suatu malam, yakni malam giliranku, beliau tertidur berdampingan denganku. Kulitnya menyentuh kulitku. Kemudian beliau minta ijin untuk shalat; Wahai Aisyah, ijinkan aku untuk shalat.” Dijawab oleh Aisyah, “Demi Allah, aku senang berada di sampingmu wahai Rasulallah. Tetapi aku juga senang bila engkau beribadah dan ‘menemui’ Tuhanmu.”

Allahu Akbar
. Jawaban yang jujur dan indah.

Sejenak kemudian Rasulullah mendirikan shalat. Apa yang terjadi kemudian? Selama berjam-jam Rasulullah hanya mendapatkan dua rakaat, dan itu diisi dengan tangisan-tangisan yang sangat merisaukan hati beliau. Sampai-sampai di dalam hadits diterangkan janggutnya basah, kemudian bersujud, lantainya basah. Tida kurang-kurang juga, bajunya basah. Allahu Akbar. Sampai-sampai tiba adzan subuh tidak beliau dengar juga. Masih juga beliau terkesima dan sujud kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga Bilal menjemput beliau di rumah Aisyah itu.

Kemudian Bilal bertanya kepada beliau, “Tidakkah dosa-dosamu telah diampuni, baik yang lalu maupun yang akan dating, wahai Rasulullah?” Ternyata pertanyaan itu salah prediksi. Yang ditangisi Rasulullah bukanlah itu. Bukan dosa-dosa yang ditangisi Rasulullah, akan tetapi, “Beginilah wahai Bilal,” jawab Rasulullah, “Tadi malam turun kepadaku ayat yang indah:

Inna fii kholqis samaawaati wal ardhi wakhtilaafil layli wan nahaari la-aayaatil li ulil albaab; Sesungguhnya ciptaan Allah, ada langit dan bumi, bulan dan bintang, serta bolak-baliknya malam dan siang, semestinya menjadi perhatian bagi ilmuwan, bagi orang-orang yang berakal. Alladziina yadzkuruunallooha qiyaaman wa qu’uudan wa ‘alaa junubihim; Seharusnya mereka itu mau mengingat Allah tidak hanya waktu shalat saja, tetapi juga saat berdiri, duduk, dan berbaring, harus selalu ingat kepada Allah. Wa yatafakkaruuna fii kholqis samaawaati wal ardh; dan ulul albab itu hendaknya mau berpikir tentang kejadian langit dan bumi. Kalau bisa begitu, maka mereka akan mengucapkan; Robbanaa maa kholaqta haadzaa baathilaa; wahai Allah, apa yang Engkau jadikan tidaklah sia-sia. Subkhaanaka fa qinaa ‘adzaabannaar; Mahasuci Engkau Ya Allah, maka jagalah kami dari siksa neraka.

Allahu Akbar. Masih saja ditambah Rasulullah mengatakan kepada Bilal, “Celaka bagi orang yang membacanya namun tidak mau berpikir.”

Dari ayat ini, kita dapat memahami; pertama, wahai orang-orang yang mempunyai akal, ilmuwan, cendekiawan, kiai, santri, ustadz, mestinya harus selalu ingat kepada Allah, kapan saja dan dimana saja, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Yang kedua, mestinya ulul albab mau berpikir tentang ‘kejadian malam dan kejadian siang’ dan tentang ciptaan-ciptaan Allah yang lain. Kemudian yang ketiga, laa budda fiihil ‘ilm; pasti di sana akan kita temui adanya ilmu, hikmah, dan Allahlah yang menciptakannya. Dan pasti kita akan mengatakan pada akhirnya; robbana ma kholaqta hadza bathila.

Demikian juga, 9 Maret yang akan datang. Akan ada kejadian alam yang melewati provinsi-provinsi di Indonesia; yakni gerhana matahari. Keindahannya, apa hikmahnya, apa ilmunya, semestinya kita bisa berpikir tentang itu, indah, indah sekali. Tentang kesejajaran matahari dalam perputaran bumi dan bulan. Tentang bulan yang mengelilingi bumi dalam sebulan. Tentang bumi yang mengelilingi matahari sehingga jadilah tahun. Dan semua ini sudah berlangsung selama bermilyar-milyar tahun. Bahkan dalam suatu artikel ilmiah, disebutkan sekitar 12 milyar tahun tidak ada perubahan sama sekali. Kita akan mengucapkan; robbanaa maa kholaqta haadzaa baathilaa.

Oleh karena itu, obyek zikir memang Allah. Tetapi obyek pikir adalah kholqullah, makhluk-makhluk Allah, ciptaan-ciptaan Allah. Berpikirlah mengenai makhluk Allah, dan kita akan ‘menjumpai’ Allah di sana. Tafakkaruu fii kholqillaah, walaa tatafakkaruu fii dzaatillaah.

Hanya saja setelah saya lihat, para mufassir tidak banyak mengungkap kenapa Rasulullah sampai sesenggukan menangis saat itu. Apakah sebab berpikir tentang alam, ataukah sebab zikir kepada Allah. Tetapi pada hadits-hadits yang lain kita temukan bahwa Rasulullah biasanya menangis karena memikirkan umatnya, bukan memikirkan diri sendiri. Allahu Akbar.

Dengan demikian, kita harus meniru Rasulullah bagaimana berzikir sebaik-baiknya, dan bagaimana berpikir sebaik-baiknya. Semaksimal mungkin untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. []

*Artikel ini merupakan saduran dari khutbah yang disampaikan KH Munawwir Abdul Fattah pada Jum’at 24 Jumadil Ula 1437 (1/3/2016) di Masjid Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Ditulis kembali oleh tim redaksi almunawwir.com [Zia].

baca juga :

Nasionalisme Kaum Muslimin

Redaksi

Redaksi

admin

522

Artikel