Mengkaji Ulang Filosofi Panggung Krapyak

Mengkaji Ulang Filosofi Panggung Krapyak

Almunawwir.com-Cerita atau tulisan sejarah bukanlah sebuah kebenaran mutlak yang tidak bisa dibantah kecuali ada fakta objektif dan data valid atau tertulis di kitab suci. Sebuah filosofi sejarah sangat mungkin berlaku multi tafsir/dibelokkan bahkan bisa dihilangkan tergantung siapa penulisnya atau siapa yang berkuasa dengan motif tertentu. 

Filosofi adalah hasil pemikiran untuk mencari kebenaran yang bersifat spekulatif atau perekaan, demikian kata Plato, filosof Yunani kuno. Sedang imajinasi adalah daya pikir khayalan atau penggambaran pikiran seseorang terhadap sesuatu yang ada, baik kebendaan maupun cerita sehingga nilai kebenarannya lemah secara Ilmiah. 

Dari beberapa sumber yang ada dan sudah beredar umum, Panggung Krapyak adalah bagian dari sumbu filosofi yang terbentang dalam garis imajiner antara laut selatan-Panggung Krapyak-Kraton-Tugu dan Gunung Merapi yang saat ini sudah diakui UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia. 

Panggung Krapyak mengandung filosofi awal sangkan paraning dumadi yang digambarkan sebagai yoni/ rahim, alat kelamin perempuan sedang Tugu adalah lingga/alat kelamin laki-laki. Panggung Krapyak dimaknai yoni/rahim karena ada pohon asem di sekitarnya dan adanya kampung Mijen yang bermakna wiji benih dan seterusnya.

“Kejanggalan” Filosofi Panggung Krapyak

Penulis berpendapat filosofi makna perekaan Panggung Krapyak dan Tugu sebagai lingga yoni adalah “filosofi janggal” dan tidak kuat dengan berbagai alasan:

  1. Panggung Krapyak dibangun pada Abad-18 oleh Hamengku Buwono I yang Bergelar Ngarsa Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Abdurrohman Sayyidin Panatagama Kholifatulloh Ingkang Jumeneng Kaping Setunggal ing Ngayojokarto Hadiningrat (1755 – 1792 M).
  2. Konsep Dasar Sultan HB I dalam membangun Kraton adalah Hamemayu Hayuning Bawono (membuat lingkungan alam yang asri nan indah). 
  3. HB 1 mempunyai guru ngaji bernama Kyai Muhammad Fakih/Kyai Welit/Kyai Seda Laut yang tinggal di Wonokromo Pleret Bantul sebelah selatan kraton (sekarang Masjid Pathok Negara Wonokromo). 
  4. Dalam beberapa Literatur termasuk Serat Cebolek RM Sujana/HB 1 di samping arsitek handal/ cakap dalam olah kanuragan, ia juga ahli ibadah sholat lima waktu/puasa senin kamis dan membaca Al-Quran.
  5. Sejak HB 1 bertahta di Kraton sudah ada pusaka yang dikeramatkan yaitu Kyai Tunggul Wulung berwujud bendera kain dari kiswah ka’bah berisi tulisan syahadat /Asmaul Husna/surat Al-Kautsar ditambah pusaka bendera lain berwarna hijau yang bertulisan Arab. 

Dari lima poin di atas dapat disimpulkan bahwa HB 1 adalah raja agamis yang menjunjung tinggi nilai luhur sehingga jauh dari kemungkinan membuat Panggung Krapyak dan Tugu sebagai simbol alat kelamin

Lingga-Yoni adalah peninggalan peradaban hindu sedangkan Panggung Krapyak dibangun setelah berdirinya Mataran Islam selang hampir Dua Abad (1586 M – 1755 M). 

Panggung Krapyak secara fisik penampakannya jauh dari penggambaran Yoni seperti yang ada di beberapa situs candi Hindu kecuali hasil imajinasi yang menabrak rasionalitas dan nilai-nilai sejarah yang kredibel. 

Demikian pula penulis menganggap janggal jika filosofi kehidupan Kraton Jogja berawal dari arah selatan ke utara dibuktikan dengan adanya Plengkung Gading/Nirbaya sebagai satu-satunya tempat keluar jenazah raja yang mangkat sejak Kerajaan Mataram untuk menuju Astana Kasuwargan Pajimatan Imogiri Makam HB 1 di arah selatan kraton.

Panggung Krapyak Lebih Mirip “Ka’bah”

Bahwa HB 1 membangun Panggung Krapyak adalah diilhami dari bangunan ka’bah, sedang Tugu adalah alif mutakallim wahdah yakni Tuhan yang Maha Esa sebagai sumber awal kehidupan Sangkan Paraning Dumadi. 

Pada masanya, HB 1 sangat arif dengan Alam Bawono bahwasanya air adalah sumber kehidupan yang di wilayah Kraton Ngayojokarto Hadiningrat mengalir dari arah utara (Gunung Merapi) ke selatan (Laut Kidul). Sehingga arah sumbu filosofi kehidupan adalah dari utara ke selatan bukan sebaliknya.

Panggung Krapyak merupakan Ilham dari bangunan Ka’bah di samping berfungsi sebagai benteng/tempat istirahat raja ketika berburu menjangan/tempat meditasi raja menghadap Gunung Merapi juga sebagai simbol tujuan serta tugas hidup manusia (wa maa kholaqtul jinna wal insa illa liya’buduuni).

Panggung Krapyak dengan bentuk mirip Ka’bah dengan empat pintu yang saling berhubungan adalah lambang Manunggaling Kawulo lan Gusti tanpa sekat bersifat kosmopolit universal. Realita yang ada saat ini di sekitar Panggung Krapyak adalah terdapat komplek pondok pesantren yang siang malam para santri lewat bahkan tinggal berdiam di sekitar Panggung Krapyak.

Simbah Kyai Munawwir yang masih keluarga kraton dulu membuka pesantren di dekat Panggung Krapyak, tentu juga dengan pertimbangan khusus bahkan saat ini beberapa logo Yayasan di Pesantren Krapyak juga memakai background Panggung Krapyak.

Apakah yang seperti itu, menurut versi mereka disebut sebagai arti perlambangan yoni/kelamin perempuan. Sungguh terlalu menyesatkan. Pembelokan makna sejarah dari aslinya adalah hal yang lumrah apalagi dilakukan dengan sengaja oleh orang yang tidak takut dengan kuwalat.

Revitalisasi Panggung Krapyak dengan segala permasalahannya diharapkan membawa dampak positif di segala bidang dan tetap menghargai kearifan lokal, salah satu contohnya ada aturan bagi wisatawan baik asing maupun domestik untuk berpakaian sopan seperti yang diberlakukan di Pesarean Para Raja Imogiri Bantul.

Krapyak Kulon, Senin pagi 30 Oktober 2023.

Penulis: KH. Henry Sutopo

Editor: Redaksi Almunawwir

Baca Juga:

Redaksi

Redaksi

admin

502

Artikel