Sebagai penggagas dari metode yang memiliki sifat resiprokal antara suami dan istri, Faqihuddin berpendapat bahwa hukum asal dari orang yang bertanggung jawab memenuhi nafkah adalah suami.
Hal tersebut didasarkan pada QS An-Nisaa’ [4] : 34, dimana dalam ayat tersebut menegaskan bahwa istri memiliki hak lebih untuk diberikan nafkah. Ayat tersebut menegaskan bahwa suami bertanggung jawab untuk memenuhi nafkah istrinya karena Allah SWT memberikan fadl (kelebihan) terhadap kaum laki-laki.
Kelebihan yang diberikan kepada kaum laki-laki ini didasarkan karena melihat realitas yang ada pada saat itu, bahwa norma-norma sosial yang berkembang lebih mendukung terhadap pergerakan serta peran laki-laki dalam sektor publik.
Menurut pandangan Imam Ar-Razi dalam magnum opusnya yaitu Tafsir Kabir menyatakan bahwa ada dua faktor yang menjadikan laki-laki mempunyai keutamaan, sehingga mendapatkan amanah untuk menjadi pemimpin dalam keluarga serta mendapatkan tanggung jawab untuk menanggung beban nafkah.
Pertama, faktor hakiki seperti memiliki kemampuan berfikir yang lebih dan fisik yang umumnya lebih kuat dari perempuan. Kedua, faktor syar’i seperti kekuatan terkait persaksian, status wali, kelebihan dari pembagian warisan, dan lain sebagainya (Fakh Ad-Din Ar-Razi, 1978, hlm. 215).
Jika menelisik terkait kondisi Arab pada saat itu, pekerjaan-pekerjaan yang ada lebih cocok bagi orang-orang yang memiliki fisik kuat. Fisik yang kuat tersebut umumnya dimiliki oleh laki-laki, maka beban nafkah kepada laki-laki menjadi logis berdasar realitas Arab pada zaman dahulu. (Khoirudin Nasution, 2005, hlm. 212)
Baca juga:
Melihat berbagai faktor di atas maka dapat dipahami secara lebih luas bahwa pemenuhan nafkah tersebut didasarkan pada kemampuan untuk menghasilkan harta. Maka pemenuhan nafkah tidak mutlak menjadi beban suami, namun bisa pula diberlakukan kepada istri yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan harta.
Kepemimpinan dalam rumah tangga beserta pemenuhan nafkah dalam rumah tangga didasarkan pada kapasitas serta kredibilitas yang dimiliki oleh seseorang, bukan pada pertimbangan jenis kelaminnya.
Maka ketika ayat tersebut diinterpretasi dengan metode mubadalah maka subjek dari ayat tersebut juga ditunjukkan perempuan. Dan titik tekan pada ayat tersebut adalah yang menjadi pemimpin keluarga serta penanggung beban nafkah adalah Dia yang diberi keutamaan lebih oleh Allah SWT serta memiliki kemampuan dalam menghasilkan harta.

Selain daripada hal yang telah disinggung pada paragraf di atas, alasan mengapa pada dasarnya laki-laki mengemban beban nafkah adalah karena perempuan secara biologis mengalami masa reproduksi yang tidak dialami oleh laki-laki.
Dalam keadaan masa reproduksi tersebut, umumnya perempuan mengalami fase yang menghambatnya untuk melakukan kegiatan pada umumnya, tanpa terkecuali untuk melakukan suatu pekerjaan. Maka pemenuhan nafkah materi menjadi hal yang nyata dan dibutuhkan sebagai bentuk perlindungan dan keberlangsungan hidupnya.
Oleh karena itu, apabila fase tersebut sudah dapat dilewati maka peran yang dijalankan dalam rumah tangga seperti peran terkait pemenuhan nafkah menjadi sesuatu yang sifatnya fleksibel serta dapat ditanggung bersama. (Khoirudin Nasution, 2005, hlm. 372)
Pendapat Faqihuddin mengenai adanya fleksibilitas terkait peran yang dijalankan selama berumah tangga, termasuk beban nafkah sebagai tanggung jawab yang diemban bersama merupakan pengamalan dari pilar rumah tangga muasyarah bi al-ma’ruf berdasarkan QS. An-Nisaa’ [4]: 19 serta az-zawaj QS. Al-Baqarah [2]: 187.
Tentunya dengan adanya fleksibilitas tersebut, diharapkan setiap anggota keluarga merasa mendapatkan keadilan yang nyata, sehingga rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah dapat terwujud.
Baca juga:
Ar-Raqim dan Kisah 3 Pemuda: Sebuah Penafsiran yang Berbeda
Selain dari alasan-alasan yang berdasarkan pada nash, alasan rasional bahwa nafkah bukan mutlak kewajiban suami, melainkan sesuatu yang sifatnya fleksibel serta cenderung tanggungan bersama adalah keadaan tidak terduga yang sewaktu-waktu terjadi sehingga menyebabkan suami tidak mampu lagi menghasilkan harta.
Seperti ketika suami tiba-tiba mengalami kecelakaan atau sakit yang membuatnya berhenti bekerja, atau akibat keadaan dimana penghasilan dari suami terlalu kecil sehingga kurang mencukupi untuk memenuhi tuntutan kebutuhan yang ada.
Maka dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa nafkah dalam pandangan Faqihuddin berdasarkan qira’ah mubadalah merupakan kewajiban suami pada asalnya. Namun kewajiban tersebut bukanlah sesuatu yang sifanya mutlak harus dipenuhi oleh suami.
Penulis: Abdurrahman Addakhil (Santri Komplek Madrasah Huffadh 1)
Editor: Nur Hanik
