Almunawwir.com-Sekitar abad 12 M, empat abad sebelum bangsa Eropa datang ke Indonesia, tepatnya pada tanggal 27 Rajab 583 H/1188 M, Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil membebaskan Baitul Maqdis, Palestina. Ketika ingin membebaskan Palestina, sultan tidak langsung menyiapkan tentara dan peralatan perang. Akan tetapi yang mula-mula beliau lakukan adalah mempersatukan umat islam dalam satu ikatan aqidah yang benar, yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah.
Untuk menyambut dan memperingati bulan Rajab yang di dalamnya ada peristiwa isra’ mi’raj, dalam tulisan ini penulis akan menjelaskan tentang sejarah salah satu sultan yang berhasil menaklukan Baitul Maqdis di Palestina, yang pada masa itu sedang dikuasai oleh kaum kristen salib.
Pembebasan Baitul Maqdis
Keberhasilan Shalahuddin al-Ayyubi dalam membebaskan Baitul Maqdis tentu tidak hanya karena kepribadian dan kerohanianya yang baik, akan tetapi karena terpenuhinya sebab-sebab kesuksesan. Oleh karenanya, kajian ini diharapkan dapat menambah khazanah intelektual dalam mengkaji sejarah penaklukan daerah tertentu, dan khususnya Baitul Maqdis.
Bila sejarah penaklukan hanya dikaji melalui satu atau dua faktor kesuksesan saja, seperti akhlak mulia dan kerohanian yang baik, hal ini akan menghilangkan faktor-faktor lain yang juga sangat penting guna menunjang keberhasilan.
Selain itu, kajian sejarah dengan hanya mengunggulkan salah satu dari faktor kesuksesan akan menjauhkan perhatian terhadap berbagai penyakit yang ada dalam tubuh umat Islam sendiri, yang justru dapat menyebabkan mentalitas kalahan dan terbelakang.
Biografi Shalahuddin Al-Ayyubi
Nama lengkap Shalahuddin al-Ayyubi ialah Yusuf bin Najmuddin Ayyub bin Syadzi bin Marwan bin Ya’qub al-Duwiniy, al-Tikrity. Yusuf bin Najmuddin lantas memiliki satu nama kunyah, yakni Abu Mudhaffar dan beberapa laqab, yaitu: Shalah al-Din, alMalik al-Nasir, al-Sulthan al-Kabir, serta penguasa Mesir, Syam, Irak dan Yaman.
Untuk itu ia kemudian lebih dikenal dengan nama laqab-nya, Shalahuddin atau dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan saladin. Shalahuddin lahir pada tahun 532 Hijriyah atau 1137 Masehi.
Shalahuddin selalu menghadiri berbagai tempat kajian untuk belajar dengan para ulama, baik belajar membaca, menulis, menghafal Al-Qur’an ataupun ilmu-ilmu lainnya, seperti kaidah-kaidah bahasa, fikih dan ilmu hadis. Untuk itu, ia pernah belajar hadis dengan para ulama terkenal, seperti Qutbuddin al-Naisaburi, al-Hafidz Abu Thahir al-Salafi, Abdullah bin Barri al-Nawawi, dan Abu al-Thahir bin ‘Auf.
Shalahuddin semakin tumbuh menjadi sosok remaja yang rajin mempelajari ilmu pengetahuan, berlatih seni berperang, belajar memanah dan berbagai kebutuhan penunjang kepahlawanan lainnya, (Amir Sahidin, 2022).
Baca Juga:
Prinsip Ideologi
Prinsip yang paling utama dalam membebaskan Baitul Maqdis adalah kekuatan ideologi. Ideologi juga merupakan kata ajaib yang menciptakan pemikiran dan semangat hidup di antara masyarakat, kaum pemuda, serta terkhusus para intelektual dan cendekiawannya.
Untuk itu, dapat dikatakan bahwa ideologi merupakan rumusan alam pikiran yang terdapat di berbagai subyek atau kelompok masyarakat tertentu, yang kemudian dijadikan dasar untuk diwujudkan. Ia juga dimaknai sebagai sebuah cita-cita dan visi yang luas.
Maka, secara ideologi, Shalahuddin al-Ayyubi senantiasa melakukan upaya-upaya untuk menanamkan pemahaman Islam yang benar, semangat jihad yang tinggi dan kerinduan untuk membebaskan Baitul Maqdis dari pemerintahan Kristen Salib, dengan berbagai upaya salah satunya adalah membangun madrasah-madrasah Ahli Sunnah.

Shalahuddin banyak melibatkan para ulama dalam membina masyarakat dan para kader-kader pejuang. Bahkan adanya berbagai madrasah, pengajian dan lain sebagainya tidak mungkin terlepas dari keterlibatan para ulama. Di antara ulama-ulama yang memiliki pengaruh besar di masyarakat pada zamannya yaitu: Al-Qadhi al-Fadhil, al-Hafidz al-Silafi, Abu Thahir bin Auf al-Iskandari, Abdullah bin Ashrun, al-Faqih Isa al-Hakari, Zainuddin Ali bin Naja, Al-Imad al-Ashfahani, al-Khabusyani dan lain-lain.
Pada masa Shalahuddin al-Ayyubi, warga negara yang berada dalam kekuasaannya dapat menikmati kelapangan ekonomi dan kehidupan sejahtera, karena adanya pemasukan dan berbagai sumber ekonomi yang beragam. Sumber-sumber tersebut dapat disimpulkan karena beberapa hal, yaitu banyaknya simpanan kekayaan yang pernah dimiliki keluarga Dinasti Ubaidiyah Syiah; banyaknya income (pendapatan/pemasukan) dari berbagai sumber pemasukan yang sah dan dianjurkan syariat seperti: jizyah, fidyah, ghanimah, kharaj dan lain-lainnya.
Shalahuddin pun selalu menggunakan harta untuk kepentingan jihad, membangun benteng dan pertahanan, merenovasi berbagai bangunan, membantu masyarakat sekitar serta membangun berbagai proyek yang dapat mendatangkan keuntungan dan kemaslahatan bagi negara.
Kebijakan Shalahuddin al-Ayyubi
Kebijakan-kebijakan Shalahuddin Al-Ayyubi selalu dipertimbangkan atas dasar kemaslahatan umum masyarakatnya, sehingga terealisasilah keadilan bagi seluruh masyarakat. Di antara kebijakan-kebijakan tersebut adalah menghapus berbagai pajak dan pungutan pajak tanah, perdagangan, air Sungai Nil, pajak haji dan pajak-pajak lainnya yang berlebihan atau tidak sesuai syariat.
Bahkan, pada masa Nuruddin Mahmud, Shalahuddin pernah menjadi kepala kepolisian di Damaskus, sehingga beliau sangat sensitif terhadap berbagai bentuk kezaliman yang berada di sekitarnya.
Bersatunya Wilayah Kaum Muslimin
Pembebasan Baitul Maqdis dari pemerintahan Salib tentu tidak akan mungkin berhasil kecuali dengan menyatukan wilayah-wilayah kaum Muslimin. Karena dengan adanya persatuan wilayah akan menghasilkan pertahanan dan keamanan yang sangat kuat dalam mencegah, melindungi dan membela kepentingan nasional terhadap segala macam paksaan, kekerasan dan serangan dari pihak lainnya.
Oleh sebab itu, Shalahuddin al-Ayyubi berusaha menyatukan negara-negara kaum Muslimin untuk bersama-sama menghadapi pasukan Salib dan membebaskan tanah suci Baitul Maqdis, Palestina.
Perang Hittin sebagai Kunci Menuju Baitul Maqdis
Hittin merupakan salah satu perkampungan kecil di Palestina, terletak di antara danau Acre dan Tiberias (Galilea) yang berjarak 2 farsakh. Para sejarawan menilai bahwa perang Hittin adalah pintu yang dibukakan Allah bagi kaum muslimin untuk membebaskan Baitul Maqdis.
Dalam peperangan ini, pasukan Salib mengalami kekalahan telak yang mengakibatkan terbukanya kesempatan emas bagi kaum muslimin untuk membebaskan Baitul Maqdis. Pasukan Salib banyak kehilangan para kesatria dan tokoh-tokoh mereka, baik karena terbunuh maupun tertawan.
Shalahuddin memerintahkan untuk menginformasikan keinginannya kepada kaum muslimin di seluruh penjuru dunia Islam. Hal ini sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir, “Ketika kaum muslimin mendengar berita-berita kemenangan jihad Shalahuddin al-Ayyubi dan ia bermaksud untuk meneruskan jihad ke Baitul Maqdis, maka banyak dari kalangan ulama dan orang-orang saleh dari seluruh penjuru dunia berduyun-duyun ikut bergabung dalam barisan jihad tersebut dengan sukarela.” (Katsir, 1988).
Shalahuddin pun mengerahkan armada laut yang berada di Mesir untuk memaksimalkan pengepungan; memutus jalur-jalur kapal pasukan Salib yang hendak memberi bantuan kepada kaum Salibis di Baitul Maqdis; dan sekaligus untuk mobilisasi bantuan kaum Muslimin dari Mesir menuju ke Syam.
Nilai-nilai perjuangan dari sosok Shalahuddin al-Ayyubi terletak pada persiapan yang matang dan maksimal, baik dari segi spiritual, moral maupun materi. Persiapan spiritual dan moral membantunya dalam bersikap dan berperilaku, seperti ketakwaan, ketekunan ibadah, akidah yang lurus, keadilan, keberanian, kemuliaan, kedermawanan, kesabaran, menepati janji, tawaduk, jujur, serta semangat jihad dan usaha maksimal dalam membela kaum muslim dan pembebasan Baitul Maqdis.
Sedangkan persiapan materi, berupa memperkuat unsur-unsur kemenangan melalui aspek ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan, keamanan dan militer, membantunya untuk mewujudkan cita-cita mulia, yaitu membebaskan Baitul Maqdis dari cengkraman pasukan Salib.
Baca Juga:
Sepeninggalannya, beliau tidak banyak meninggalkan harta berupa materi kepada keluarganya karena semua harta yang beliau peroleh digunakan untuk kemaslahatan negara dan kesejahteraan rakyat. Namun demikian sultan telah meninggalkan warisan yang sangat mendalam bagi sejarah peradaban islam dan semangat jihad yang dapat di tiru oleh keluarganya dan tentunya kaum mulimin pada umumnya.
Sumber:
- Amin Sahidin, STAI Darul Qolam Tangerang, (Pembebasan Baitul Maqdis, analisis pembahasan historis), 2022.
- Eka Puji Lestari, skripsi, UIN Sunan Ampel Surabaya, (Strategi Salahuddin Ayyubi dalam mengmbil alih Yerussalam 1187-1192 M), 2020.
Editor: Kavina Biizzika
