Yogyakarta – Almunawwir.com
Lailatul Qur’an merupakan sesi panel puncak dari serangkaian acara dalam event Multaqa Ulama Al-Qur’an Nusantara tahun 2022, dengan mengangkat tema Pesan Wasathiyah Ulama Al-Qur’an (16/11). Satu di antara tiga narasumber yang dihadirkan adalah Prof. Dr. M. Quraish Shihab, pendiri Pesantren Bayt Al-Qur’an Jakarta. Beliau menyampaikan materi wasathiyah secara daring.
Membaca zaman saat ini, banyak yang mengaku cinta wasathiyah tetapi belum mampu menunjukkan bagaimana praktik daripada sikap wasathiyah. Prof. Quraish menjelaskan bahwa untuk dapat bersikap wasathiyah, seseorang harus mengenal terlebih dahulu apa makna wasathiyah.

Menurutnya, wasathiyah yang semula berasal dari kata wasath tidak bisa dimaknai secara tekstual sebagai tengah-tengah. Lebih dari itu, wasathiyah memiliki makna adil, bagaimana ketegasan seseorang untuk bersikap adil, mampu mengenal dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, sesuai porsinya.
Baca juga: Regeneralisasi Metode Al-Qur’an Di Era Perkembangan Zaman
Beliau memberikan contoh sederhana dari sikap wasathiyah, yang digambarkan dalam pertandingan sepak bola. “Seorang wasit yang memimpin pertandingan sepak bola tidak harus selalu berada di tengah, tetapi ia dituntut untuk dapat menegakkan keadilan di lapangan,” terangnya.
Lalu, apa saja yang perlu diperhatikan dalam memaknai wasathiyah? Pendiri Pesantren Bayt Al-Qur’an ini memaparkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam bersikap wasathiyah.
Pertama, ketepatan dalam arti sasaran, cara, waktu. Kedua, pengetahuan untuk menerapkan wasathiyah. Bersikap wasathiyah tidak bisa diterapkan dengan sekadar ikut-ikutan atau bahkan bergerak membatasi. Semua kata wasath yang menggunakan makna tengah, tidak selalu menggambarkan sesuatu itu baik.
Baca juga: Gus Baha: Pentingnya Mengaji dan Barokah Orang yang Tidur
Sehingga harus berpandai-pandai dalam melihat kondisi yang sedang dihadapi. Hal ini membutuhkan pengetahuan tentang ajaran agama sekaligus pengetahuan tentang kondisi yang sedang dihadapi, barulah kemudian diambil kesimpulan mana yang terbaik.
Ketiga, kehati-hatian dan kendalikan emosi. Gantilah emosi keagamaan dengan cinta agama. Peliharalah emosi keagamaan, karena dapat menjadikan seseorang melanggar agama bahkan yang diyakininya sekalipun, sebab dorongan emosi beragama yang berlebih-lebihan.
Di sinilah setan menjalankan perannya, dengan menuntut seseorang untuk bersikap berlebihan. Sehingga biasanya, muncul kesalahpahaman sebab kekurangpahaman di awal. Oleh karena itu, penting bagi seseorang untuk mampu bersikap wasathiyah agar tidak mudah digiurkan oleh hal-hal di luar aturan agama.