Susu Jahe Angkringan Krapyak

Susu Jahe Angkringan Krapyak

Oleh : Khalimatu Nisa*

        Malam ini sebenarnya kondisiku sedang tak begitu baik, sedikit migrain. Belakangan, aku kerap dihiraukan dengan segala detil yang kujumpai di Krapyak. Beberapa di antaranya menggiring ingatanku pada keping kenangan di tempat ini. Tempat yang sudah kuanggap sebagai satu-satunya rumah selama enam tahun berada di kota ini.

   Sore kemarin lusa, sebagai sebuah ihtiar romantis, aku menyengajakan diri meluangkan waktu untuk sekadar berjalan-jalan menyisir jalan pedukuhan Krapyak bersama seorang teman sekamar. Kau tahu kan, bagaimana suasana Jalan K.H. Ali Maksum itu pada waktu petang ketika ratusan santri tumpah ruah di kedai-kedai makanan untuk sekadar mengantri lauk-pauk yang tak seberapa? Keluguan itu, kedamaian di bawah langit senja yang ranum, aku selalu menikmatinya. Bahkan, seperti yang pernah kau tertawakan, aku sering menggunakan frasa Penikmat Senja di Krapyak sebagai tanda tangan di beberapa cerpenku. Sore itu, akhirnya aku dan temanku memutuskan untuk berhenti di sebuah angkringan barat kios Laundry Violet.

Kau bilang, dari tempat inilah untuk pertama kalinya kau mengamatiku berjalan sebelum kita saling kenal.

            Seperti biasa, di angkringan tak bernama itu, selanjutnya marilah kita sebut Angkringan Krapyak, para santri putri membeli minuman untuk dibawa pulang ke pondok. Tak terkecuali aku. Ketika berdiri mengantri untuk membeli di sana, aku mengamati gerak-gerik penjualnya melayani kami. Pemandangan yang sama tiap kali aku membeli di sana. Aku hapal detilnya, lantaran lumayan sering bertandang sebelumnya.

            Ada aroma arang yang menyengat dari atas tungku yang ditumpangi teko tembaga itu. Dengan kecepatan yang terlatih, lelaki penjual menuangkan sesachet penuh Susu Vanila ke dalam plastik untuk menyediakan pesananku: Susu Jahe. Ia lantas mengalirkan air jahe panas dari teko ke dalamnya. Dengan beberapa gerakan ia lalu mengocoknya. Kemudian, dengan kuku ibu jarinya yang panjang itu ia membuat simpul di plastiknya. Kuku ibu jari yang menghitam di tangan yang kuragukan kebersihannya. Betapa, aku mampu mengingatnya dengan jelas. Dengan tangan itu pula si penjual menerima tiap keping atau lembar Rupiah yang kami bayarkan. Ya, rupiah-rupiah penuh kuman -meski aku tak pernah membuktikannya dengan mata kepalaku sendiri, itu. Kadang juga, logam-logam itu jatuh di toples-toples gula yang menganga. Para pembeli kerap mengernyitkan dahi dibuatnya, menganggapnya tak higienis. Tapi, di waktu bersamaan mereka juga memakluminya. Buktinya toh puluhan santri termasuk aku tetap saja berminat membeli, bahkan hingga rela berdesak-desakan antri.

            Hampir maghrib, aku sudah sampai di kamar. Aku menyeruput susu jahe yang tadi kubeli itu dengan masih melamunkan suasana Angkringan Krapyak tadi. Susu jahe mengaliri tenggorokanku. Hangat. Sensasi jahenya memang tidak ada bedanya dengan susu jahe angkringan Kang Harjo atau susu jahe angkringan dekat rumahku atau manapun. Tapi ketika membayangkan lagi prosesi peracikannya tadi, ia jadi begitu orisinil sebagai sebuah susu jahe Angkringan Krapyak yang tak bisa ku temukan di tempat lain. Sebab, ada banyak fenomena serupa di muka bumi ini, tapi tidak ada satu pun yang benar-benar sama. Segala detilnya, suasananya, aku tak mungkin bisa menemukannya di tempat lain.

            Mendadak aku tak bisa berhenti memikirkannya. Tiba-tiba aku merasa sangat sedih membayangkan suatu saat mungkin akan tinggal di suatu tempat yang jauh dan merindukan Angkringan Krapyak, tapi segalanya telah berubah. Ketika aku tak lagi mungkin dapat menghabiskan soreku dengan berlenggang di jalan pedukuhan itu. Ketika ruang dan waktu bergulir dan semua yang ada dan kulakukan kini tinggal menjadi sakadar hal-hal yang telah lewat di masa depan.

Sampai di sini aku merasa begitu kecil. Bahwa aku tak memiliki kekuatan untuk menyetop segala sesuatunya agar tidak menjelma menjadi kenangan tak tergapai.

            Belasan teman sekamarku agak menaruh rasa curiga melihatku tercenung di forum makan malam kala itu sambil menggigiti sedotan susu jahe. Aku menanggapi seloroh mereka sekenanya saja, sampai iqamat yang meraung-raung dari lantai bawah membuyarkanku. Sejak sore itu teman-teman bilang sering melihatku melamun akhir-akhir ini Aku pun merasakan waktu berjalan sangat lambat sesudahnya. Ketika berjalan di koridor hendak menuju mushola untuk berjamaah petang itu, rasanya aku seperti berada di sebuah lorong panjang. Orang-orang yang berpapasan di jalan, mereka yang memberi senyum ringan, sapaan atau sekadar sindiran basa-basi, tiba-tiba semua itu terasa sangat berarti. Aku begitu menghayati dan tersentuh.

            Sesampai di mushola aku membeku di antara hiruk-pikuk manusia. Aku melihat mereka datang dari berbagai arah lalu menggelar sajadah, merapatkan barisan. Kurasai gerakan bahkan komat-kamit bibir mereka tatkala bertakbir-ruku’-i’tidal-sujud di kanan, kiri, depan dan belakangku. Kemudian aku sampai pada semacam sebuah kesadaran eksistensial. Bahwa jika aku menghilang dari shaf ini, dengan mudah orang lain akan menambalnya dan tidak akan ada yang berubah signifkan dari tatanan ini. Namun ketika sebaliknya, semuanya hilang dan tinggallah aku sendirian pada barisan itu, yang terjadi sebaliknya. Sangat signifikan. Aku sebatang kara, munfarid. Kesedihan itu muncul lagi.

            Lalu ruangan itu seakan memiliki mulut untuk berbicara banyak hal. Aula yang tak lebih dari dua puluh kali enam meter luasnya itu. Saat jamaah satu per satu pulang dan menyisakan beberapa gelintir orang saja di dalamnya termasuk aku hingga suara derit kipas angin terdengar jelas, perlahan ia mengajakku mengenang malam Jumat pertamaku di asrama ini. Ketika untuk pertama kalinya aku mengenal majelis dibaiyah. Berada dalam kerumunan perempuan-perempuan berjilbab putih yang melantunkan syair-syair liris dengan iringan hadroh, rasanya luar biasa. Aku belum menemukan rutinitas yang lebih syahdu lagi romantis selain itu.”

Shollatullahi maa laahat kawaakib, semoga rahmat Allah kepada Nabi Muhammad saw, sebaik-baik orang yang mengendarai unta…

            “Jika pada akhirnya semua peristiwa menjadi kenangan, maka di pondok ini, kenangan akan banyak mengambil lokasi di aula ini, atau yang sering kamu sebut Mushola Barat. Hingga malam Jumat-malam Jumat sesudahnya, ruangan ini menjadi saksi bisu akan hal-hal mengesankan yang terjadi. Di sini, di sebuah titik di pedukuhan Krapyak inilah, pesta-pesta yang teramat gila sekaligus amat rahasia terjadi tiap malam Jumat.

            Sepertinya pernah beberapa kali kuceritakan kepadamu riuh rendahnya malam Jumat kami. Agak aneh awalnya setelah sekian lama kemerdekaanku terletak di malam Minggu, tiba-tiba berganti jadi malam Jumat di sini. Tiap malam Jumat, malamnya libur mengaji, ada pentas seni rutin setelah majelis dibaiyah usai. Sungguh kau mungkin tidak akan percaya, banyak sekali seniman kutemukan di sini! Panggung malam Jumat selalu menghebohkan. Meski dilarang menonton TV di asrama, kau tak akan kekurangan tontonan mulai dari drama Korea paling picisan hingga kabaret yang bersimbah tawa. Mulai dari pembacaan puisi paling menggelegar hingga lomba grup vocal Nasidaria super norak. Itu semua muncul dari potensi-potensi paling rahasia perempuan-perempuan seasramaku ini. Mereka bisa jadi apapun, bisa melakukan apa saja. Dan itu akan selamanya jadi rahasia. Tidak ada video, kau tahu. Pun foto rasanya hanya jadi konsumsi pribadi. Pokoknya aku berani bertaruh, tiap malam Jumat, di Mushola Barat ini, sebuah titik kecil di pedukuhan Krapyak ini, ada pesta-pesta yang amat gila sekaligus amat rahasia.

Bagaimanapun aku mencoba berbagi denganmu, sesungguhnya kesan yang kudapat tetap hanya bisa kunikmati sendiri.

            “Namun, selain pesta pora, kau tahu kan, Mushola Barat ini juga menyimpan air mata. Lambat laun ia mengajakku berbicara soal peristiwa di medio April beberapa tahun lalu. Saat tidak seperti biasanya, seluruh santriwati dikumpulkan berdesakan di dalamnya untuk meminta kesembuhan bagi seseorang yang teramat berarti. Ia yang tengah menghadapi ajal: Kyai Ahmad. Diawali dengan sebuah jeritan tak wajar dari arah ndalem ba’da subuh, para santriwati kemudian diperintahkan bergegas ke Mushola Barat untuk membaca sholawat thibbil qulub sebanyak-banyaknya, yang dialamatkan kepada Kyai Ahmad. Saat itu kabarnya beliau berada di antara hidup dan wafat. Sungguh, momen itu menjadi pembacaan sholawat paling emosional dalam hidupku, Hingga akhirnya obituari itu datang dan pecahlah segalanya. Dari sekian tahun, kukira kala itulah barangkali untuk pertama kalinya ruangan ini menampung paling banyak debit tetes air mata, ketika Kyai Ahmad meninggal dunia

Lahu al-fatihah…

            “Apa kau sudah mengantuk? Kau tentu sudah hapal jam segini belum merupakan jam tidurku, meski aku berharap bisa membiasakan diri tidur lebih cepat suatu saat nanti. Tapi di sini, kehidupan baru dimulai pada jam-jam ini. Pondokku justru sedang berisik-berisiknya. Kantin baru dibuka. Mereka yang mengerjakan tugas-tugas kuliah baru memulai aktivitasnya. Ruang kelas di belakangku ini telah dalam sekejap berubah menjadi kantor dengan belasan laptop yang menyala hingga pagi. Bahkan kau bisa mendengar deras bunyi kucuran air hingga hampir tengah malam nanti. Ya. Beberapa dari kami juga mencuci malam hari. Sebagian menghabiskan malam bersama kelompoknya. Ada yang memasak di kantin, ada pula yng mengobrol saja secara berjamaah. Bisa soal apapun, tentang kepengurusan pondok, apa yang akan dilakukan setelah boyong, perjodohan, menghadiri undangan pernikahan, dan kutu-kutu di rambut -seperti yang kau curigai

Dan apa aku harus bilang juga soal gosip ustadz-ustadz bujang? Ah, biarlah itu jadi rahasia yang lain saja, ya.

            “Aku merasa nyaman ketika terlibat dalam obrolan-obrolan itu, kau tahu. Membicarakan hal remeh-temeh yang menyegarkan otakku alih-alih membuatku frustasi dan terintimidasi. Aku betah berdesakan dalam kamar empat kali enam meter untuk dua puluh satu orang itu. Teman-temanku sangatlah menyenangkan, mereka sederhana, perhatian, penuh ketulusan, dan senantiasa meluruskanku ketika aku mulai melenceng. Dan bangunan tua ini -dengan lancang aku katakan, adalah rumahku, bersama 360 saudara di bawah atapnya. Bersama mereka, meski dalam kesepian sekalipun, aku tak pernah merasa sendirian. Dan itulah yag membuatku tak sanggup membayangkan suatu saat aku harus meninggalkan komunalitas ini, sesuatu yang niscaya terjadi.

Apa aku salah bicara? Aku jadi merasa tak enak.

            “Oh maaf, aku menghabiskan waktu kita untuk membuatmu mendengar ceracauanku. Apa kau sudah cukup bosan di sana. Syukurlah kalau belum. Dan terima kasih untuk tidak akan bosan sampai kapanpun. Kau memang jago untuk urusan itu. Tentu saja kau boleh bertanya.

Bahwa sore kemarin lusa saat aku berada di Angkringan Krapyak adalah sehari setelah kau dan keluargamu datang melamarku? Kenapa kau bertanya begitu. Oh, pertanyaan macam apa itu.

            “Ya, tentu saja. Tapi mengapa kau menghubungkannya dengan pertunangan kita? Ah, kurasa aku tak mampu berbicara lebih banyak lagi, aku mulai kedinginan di balkon ini dan semakin pusing.

Lebih baik segera kita sudahi percakapan ini.

            “Kau ini bicara apa. Barangkali aku Cuma mendramatisir susu jahe Angkringan Krapyak saja. Aku tidak paham apa maksudmu.

Ah, aku terjebak pada keluhanku sendiri. Hentikan, aku tidak ingin air mata ini jatuh. Aku tidak mau kau mendengar isakanku dari ujung telepon.

            “Ah, baiklah, baik. Aku mengaku cemas. Aku tidak akan menggunakan frasa tidak siap. Aku bukannya ingin mundur dan lepas dari ikatan ini, bukan. Aku telah bersedia dan aku memegang sikap itu. Hanya saja, ini tak semudah yang kubayangkan. Aku telah bertautan selama enam tahun di Krapyak ini dan ia telah menjadi sesuatu yang karib buatku. Aku kacau membayangkan ia akan segera jadi bagian hidup yang akan segera kulewati. Kau tentu paham, aku tahu kau lelaki yang sangat pengertian. Bisakah kau mengerti, aku bukannya meragukanmu, ini bukan tentangmu, bukan, sama sekali tidak, aku hanya… hanya sedang meyakinkan diriku sendiri bahwa aku mampu melewati ini dan menjalani frase hidup selanjutnya.

            Ah, aku tidak bisa membendung lagi, meski kuharap kau tak perlu tahu. Apakah setelah mendengar semuanya menurutmu aku terlalu berlebihan? Mendramatisir semuanya? Entahlah, Krapyak menjadi sesuatu yang sangat karib bagiku, ia berada pada kedudukan sangat krusial dalam hidupku dan karenanya aku menjadi sangat sensitif seperti ini. Aku membayangkan betapa mengenaskannya nanti ketika setelah menikah aku duduk di beranda rumah kita tiap sore dan merindukan susu jahe Angkringan Krapyak, namun telah kehilangan semua momen itu, lalu aku menangis. Atau bagaimana nasibku empat puluh tahun ke depan -jika masih punya kesempatan hidup, ketika aku sudah keriput dan bergigi palsu, duduk murung di ruang tengah dan berharap TV di depanku memutar atraksi panggung malam Jumat di Mushola Barat? Apa menurutmu ketakutan-ketakutanku fiktif dan tak wajar? Ah, kuharap hingga sejauh ini kau telah mengenalku sebagai perempuan dengan stok paranoia yang meluber.

            “Tidak, aku tidak menangis.

Kau bilang aku mestinya bersyukur dengan kenangan itu karena menjadi pertanda bahwa aku tak melewatkan apapun dan oleh karenanya aku telah siap meninggalkannya? Mengagendakan untuk berkunjung ke Krapyak tiap dua atau tiga bulan sekali?

            “Begitukah?

Gantian kau yang bicara panjang dan aku yang mendengarkan. Bedanya, kau melihatnya dengan lebih bijak dan membuatnya selalu lebih mudah. Ya, itulah kenapa aku memilihmu yang tenang dan menenangkan sebab aku punya jutaan potensi untuk frustasi.

            “Ya, benar, kuharap juga begitu. Terima kasih. Memutuskan untuk menelponmu benar-benar manjur ketimbang meminum obat migrain dokter manapun. Dan hei, aku suka doamu itu, bermimpi haul malam ini. Haul juga favoritmu, kan. Ya, semoga kau juga bermimpi haul di Krapyak malam ini. Kita rindu keramaian itu…

            Tut tut. Sambungan telepon diputus. Perempuan itu lalu mengusap sisa-sisa embun di matanya sebelum beranjak tidur.

Magelang-Krapyak, pertengahan Mei 2014

(Penulis adalah Santriwati Komplek Q PP Al Munawwir)

Redaksi

Redaksi

admin

522

Artikel