Almunawwir.com – Prosesi khataman Al-Qur’an yang diselenggarakan di Masjid Jami’ Al-Munawwir, telah usai (10/04). Puncak serangkaian acara tersebut adalah mauidzoh hasanah dan doa.
Doa lebih dahulu dibacakan oleh Romo KH. R. Abdul Hamid AQ, selaku pengasuh PP. Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta.
Dilanjutkan mauidzoh hasanah yang disampaikan oleh KH. Henry Sutopo. Beliau memaparkan tentang Syair Qur’anuna yang dahulu selalu dibawakan oleh KH. Ahmad Munawwir (pendiri sekaligus pengasuh komplek L, pada tahun 1939-2001 M) ketika selesai ngaji Al-Qur’an.
KH. Henry Sutopo menyampaikan bahwa syair tersebut berkaitan dengan kemukjizatan Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan mukjizat paling agung yang dianugerahkan Allah Swt. kepada Rasulullah Saw.
Baca juga:
Disebut demikian dengan alasan:
1. Kemukjizatan Al-Qur’an masih dapat disaksikan hingga saat ini, bahkan sepanjang masa.
Ilmu-ilmu yang terkandung dalam Al-Qur’an selalu relevan dengan realita zaman, sekalipun zaman mengalami perubahan. Artinya, ilmu Al-Qur’an tetap menjadi sebaik-baiknya sandaran fī kulli zamān wa fī kulli makān.
2. Al-Qur’an merupakan wahyu yang disampaikan sekaligus dengan ilmu balaghoh-nya. Dengan kata lain, gaya bahasa yang digunakan Al-Qur’an sudah berada di luar akar pikiran manusia.
Bahkan, seorang ahli sastra pun tidak dapat melahirkan karya bacaan seperti bahasa Al-Qur’an.
Oleh karena itu, ketika “nderes Qur’an” dianjurkan untuk tadarus menggunakan dzauq (rasa).
Al-Qur’an turun dengan sajak-sajak yang indah, misalnya pada bunyi akhir di setiap ayat Al-Fātihah.
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ. ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ. مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ. إِیَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِیَّاكَ نَسۡتَعِینُ.
اِهْدِنَا ٱلصِّرَ طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ. صِرَ طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِم غَیۡر ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ
Jika diperhatikan, setiap akhir ayat QS. Al-Fātihah memiliki diksi yang sama, berbunyi “i”.
Baca juga:
Begitu juga pada bunyi akhir setiap ayat An-Nās, Al-Fīl, Ar-Rahmān, dan surah-surah yang lain.
Hal tersebut menunjukkan betapa istimewanya Al-Qur’an yang disampaikan dengan bahasa sastra yang hanya dapat dimengerti jika dirasakan oleh pembacanya.
3. Al-Qur’an jika diwujudkan dalam bentuk suara, telinga tidak akan pernah bosan untuk mendengarkan.
Jika Al-Qur’an sebuah karya bacaan, sampai kapanpun mata tidak akan jenuh untuk melihat dan membacanya.
Membaca Al-Qur’an dapat dimaknai sebagai salah satu upaya untuk tahadduts bin ni’mah (mensyukuri nikmat Allah Swt.).
4. Kandungan Al-Qur’an berupa “ilmu-ilmu yang dahulu belum ada, maka kelak di kemudian hari menjadi ada.”