Salah satu praktik pen-tasharruf-an zakat di Indonesia adalah memberikan harta zakat kepada seseorang yang mengabdikan dirinya untuk masyarakat dalam hal agama. Hal tersebut biasa di praktikkan secara turun-temurun di daerah-daerah yang ada di Indonesia.
Namun jika dicermati, terkadang memang tokoh agama seperti Kiai, Ustadz, Guru ngaji, dan sebagainya itu sudah menghabiskan waktunya untuk pengabdian sehingga tidak ada waktu untuk mencari tambahan penghasilan dari pekerjaan lain.
Praktik yang ada, orang-orang tersebut diberikan harta zakat fitrah atas nama fisabilillah yaitu mereka yang berjuang untuk menegakkan agama Allah. Hal tersebut dikarenakan mereka adalah orang yang menegakkan agama Allah dengan mensyi’arkan agama Islam.
Sebagaimana yang disebutkan dalam QS At-Taubah ayat 60, fisabilillah termasuk salah satu golongan Mustahiq zakat. Namun hal tersebut menjadi kontroversi ketika mereka adalah tergolong orang yang mampu secara finansial.
Jika ditelaah lebih dalam, mayoritas ulama menafsirkan sabilillah dengan lebih spesifik, yakni merupakan para pejuang Muslim yang berperang dalam menegakkan agama Allah dan mereka tidak menerima imbalan gaji. Dalam Fath al-Wahhab, Syekh Zakariyya al-Anshori menjelaskan
وَلِسَبِيْلِ اللهِ وَهُوَ غَازٍ مُتَطَوِّعًا بِالْجِهَادِ فَيُعْطَى وَلَوْ غَنِيًّا إعَانَةً لَهُ عَلَى الْغَزْوِ
Artinya: “Dan (zakat) untuk Sabilillah, yaitu orang yang berperang jihad (di jalan Allah SWT) secara sukarela. Maka ia berhak diberikan zakat fitrah walau statusnya kaya. Hal ini bertujuan untuk sebagai bentuk dukungan kepadanya dalam berperang.” (Zakaria Al-Anshori, Fath Al-Wahhab, [Beirut: Dar Al-Fikr, 1994] Juz 2 Hlm. 34)
Sedangkan menurut mazhab maliki, mereka menafsirkan fisabilillah adalah orang-orang yang memiliki kontribusi dan bermanfaat kepada umat dalam menegakkan agama Allah. Ibnu Rusyd dan al-Lakhami juga membolehkan hal ini. [al-Kharasy, Syarh Mukhtasar Khalil, Juz 3 Hlm. 350].
Namun kebolehan pemberian tersebut adalah pemberian dari harta zakat mal, bukan dari zakat fitrah. Berbeda dengan mazhab lainnya yang menyatakan Mustahiq zakat fitrah sama dengan Mustahiq zakat mal, mazhab maliki berpendapat bahwasanya mustahiq zakat fitrah hanya diperuntukkan untuk golongan fakir dan miskin. Sebagaimana ditegaskan Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid
فَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ تُصْرَفُ لِفُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ
Artinya: “Para ulama (Madzhab Maliki) sepakat bahwa zakat fitrah hanya diberikan pada golongan fakir umat muslim.” (Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, [Kairo: Dar Al-Hadits, 2004] Juz 2 Hlm. 44)
Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa menurut mayoritas ulama pen-tasharuf-an zakat kepada tokoh agama atas nama golongan fisabilillah tidak diperbolehkan. Berbeda halnya jika tokoh agama tersebut termasuk golongan fakir atau miskin, maka diperbolehkan untuk menyalurkan zakat fitrah kepada mereka atas nama golongan fakir atau miskin. Di dalam hukum fikih pula, tokoh agama dapat digaji dari mal masholih yang dimiliki oleh negara.
Oleh: Muhammad Khoiru Ulil Abshor
Baca juga:
