Lajnah Bahtsul Masail
Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan tujuh huruf. Namun dalam penurunannya tidak serta merta tujuh bacaan tersebut turun sekaligus, terdapat tahap-tahap bahkan negosiasi. Negosiasi tersebut berupa permohonan Nabi Muhammad Saw. kepada Allah melalui Jibril agar diberi keringanan dapat membaca Al-Quran menggunakan lebih dari satu huruf.
Nabi mengajukan alasan bahwa umatnya sangat beragam yang berasal dari berbagai daerah yang memiliki karakter pengucapan dan dialek yang khas. Permohonan tersebut dikabulkan oleh Allah Swt. sebagai rahmat bagi umat Muhammad Saw.
Pasca wafatnya Nabi Muhammad, Islam dengan cepat menyebar luas sejalan dengan ekspansi yang dilakukan para khalifah. Pembelajaran Al-Quran pun terus dilakukan untuk mengenalkan kepada daerah-daerah kekuasaan Islam pada saat itu.
Baca juga: Pengantar Ilmu Qira’at (10): Kitab Al-Sab’ah fi al-Qiraat karya Ibnu Mujahid
Hingga pada abad kedua dan ketiga hijriyah, ulama yang kompeten dalam bidang Al-Quran sangat banyak. Ragam bacaan yang muncul ditengah-tengah masyarakat menjadi tidak bisa dibedakan antara bacaan yang shahih dan yang tidak.
Berdasar latar belakang tersebut, para ulama berupaya melakukan penelitian seperti disebutkan dalam kitab Ibaanah an Maaani al-Qiraat:
فأراد الناس في العصر الرابع أن يقتصروا من القراءات، التي توافق المصحف على ما يسهل حفظه، وتنضبط القراء به، فنظروا إلى إمام مشهور بالثقة والأمانة وحسن الدين، وكمال العلم، قد طال عمره، واشتهر أمره
Maka para ulama pada abad keempat berkehendak untuk menyeleksi dari banyaknya macam bacaan yang sesuai dengan mushaf agar mudah dihafalkan, dan tepat bacaannya.
Maka mereka melihat kepada imam yang terkenal dengan terpercaya, amanah, bagus agamanya, sempurna ilmunya, panjang umurnya (dalam dunia pengajaran ilmu qiraat), dan terkenal ketokohannya.
Baca juga: Pengantar Ilmu Qira’at (8): Hubungan Qiraat dengan Istinbat Hukum
Kemudian para ulama tersebut sepakat menetapkan kriteria dalam memilih ulama sebagai berikut:
(1) keadilannya dalam memutuskan perkara; (2) terpercayanya dalam bacaan dan periwayatannya; (3) pengetahuannya dengan apa yang dibaca;
(4) bacaannya/qiraatnya sesuai dengan mushaf yang dikirim Sayyidina Usman ke seluruh penjuru negara Islam. (Abu Muhammad al-Makki, al-Ibaanah an Maani al-Qiraat [Daar Nahdhah] halaman 86)
Masih dalam kitab yang sama halaman 87 disebutkan bahwa dari kriteria di atas terdapat tujuh Imam yang memenuhi syarat yaitu: Abu Amr al-Bashry, Hamzah al-Kuufy, Ashim al-Khuufy, al-Kisai al-Iraaqy, Ibn Katsir al-Makky, Ibn Amir al-Syaamy, dan Naafi’ al-Madany.
Baca juga: Haul Ke-9 KH. Zainal Abidin Munawwir: Muqodaman hingga Analogi Madu
Juga orang pertama yang mengumpulkan ketujuh bacaan imam ini adalah Abu Bakr bin Mujahid. Penelitian yang beliau lakukan dalam menghimpun tujuh bacaan imam qiraat tertuang dalam karyanya Kitab al-Sab’ah fi al-Qiraat. Sehingga sekarang dikenal sebagai Qiraah Sab’ah.
Selain Qiraah Sab’ah, mungkin tidak asing juga ditelinga kita istilah Qiraah ‘Asyroh. Qiraah ‘Asyroh memiliki latar belakang penghimpunan yang mirip dengan Qiraah Sab’ah, namun terdapat tiga tambahan Imam yaitu Abu Ja’far al-Madany, Ya’kub al-Bashry, dan Khalaf.
Lantas, mengapa Qiraah Sab’ah lebih terkenal dibanding Qiraah ‘Asyroh baik sughro maupun yang kubro? Sehingga lebih banyak dipelajari.
Baca juga: Ngaji Ulumul Qur’an (4): Membuang Huruf Wawu dan Ya’ dari Penulisan Kata Alquran
Merujuk pada kitab at-Tibyaan fii Uluumil Quran bab Ilmu Qiraat karya Muhammad ‘Ali al-Shabuny, bahwa dalam periwayatan qiraah sab’ah mutawattir dan tidak ada seorang imam pun yang meragukan keshahihan qiraah sab’ah. Berbeda dengan qiraah ‘asyroh yang terdapat tiga imam yang standar keshahihannya adalah ahad.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam menentukan imam sebagai sandaran dan rujukan kita dalam membaca Al-Quran, para ulama terdahulu melakukan penelitian yang mendalam dalam menentukan kriteria imam.
Dari kriteria tersebut terpilihlah tujuh imam yang disusun pertama kali oleh Abu Bakr bin Mujahid berdasarkan kredibilitasnya, amanah, panjang umur (dalam hal ilmu qiraah), dan para ulama sepakat untuk mengambil riwayatnya dan talaqqi kepadanya. Sehingga tidak ada seorang imam pun yang meragukan keshahihan qiraah sab’ah. Wallahu a’lam.