Al-munawwir.com- Perempuan itu kompleks, ada banyak rasa yang bisa dimunculkan. Sederhananya, perempuan itu hatinya perasa. Namun, apakah itu akan membuatnya tidak bahagia dan tidak bisa memperjuangkan kebebasannya? Jawabannya adalah tidak. Perempuan tidak boleh kalah kiprahnya dalam masyarakat, pun dalam hal perasaannya.
Tulisan saya kali ini terinspirasi oleh cerita Ning Imaz Fatimatuz Zahra, atau yang akrab kita sapa sebagai Ning Imaz, yang belum lama rawuh sebagai Guest Star dalam rangka Haul KH. Muhammad Munawwir dan KH. Ahmad Warson di PP. Al Munawwir Komplek Q.
Menjadi perempuan yang bebas
Sebagai perempuan, kita harus menilik kembali peran perempuan pada masa Rasulullah SAW yang ternyata sangat signifikan, strategis, seimbang, dan tertata. Siapakah mereka ? Mereka adalah Ummul Mu’minin, ibu daripada perempuan muslim di dunia. Beliau adalah para istri Rasulullah. Jika Rasulullah merupakan “kiblat” ummat muslim seluruh dunia, maka istri Rasulullah merupakan “kiblat” seluruh perempuan muslim di dunia.
Contohnya Sayyidah Khadijah yang terampil dan ahli dalam hal marketing, atau kita menyebutnya dengan berbisnis. Ada pula yang ahli dalam urusan politik, hukum, dan urusan-urusan negara lainnya. Dan hal tersebut merupakan kiprah yang positif dalam diri perempuan, baik, dan tidak menentang ayat Al-Qur’an.
Lalu mengapa pada saat ini kiprah perempuan tidak seperti pada masa Rasulullah? Jawabannya adalah pada perempuan itu sendiri, semakin kesini masih banyak perempuan yang menormalisasi adanya konsep bahwa perempuan cukup “macak, masak, manak”. Semakin kesini pula, konsep tersebut menjadi sebuah adat dan dianggap sebagai nasib (takdir).
Padahal peran perempuan tidak hanya sebatas “macak, masak, manak” akan tetapi penuh dengan hal-hal positif dan sangat berpotensi menjadi seorang feminism-masculine atau bisa menjadi dominan seperti halnya kiprah laki-laki dengan tetap mengerti batasan dan aturan syariat islam.
Sayangnya, realitas perempuan kurang dikaji dan diperdalam, bahkan oleh kita sendiri sebagai sang pemilik label istimewa terssebut. Padahal islam hadir lebih relevan, moderat (tidak ekstrim), dengan memberikan kebebasan yang tidak kebablasan. Yang mana kehadiran tersebut sebenarnya me-notice kita sebagai punggawa-punggawa muda perempuan untuk mengimplementasikan dan merealisasikan previlege yang islam berikan untuk kita bisa mengawali sebuah kebangkitan dan terlibat dalam urusan yang mengarah kepada kebebasan.
Melanjutkan dawuh Ning Imaz, maka untuk bisa membebaskan diri dari konsep “macak, masak, manak”, dan menghadirkan kiprah seperti halnya Ummul Mu’minin, seorang perempuan harus mengantongi “Konsep Diri Positif” yang nantinya menjadi bekal, lebih-lebih untuk seorang yang terpelajar dan kekinian.
Konsep tersebut dominan kepada bagaimana kita sebagai pemilik gender mempunyai tujuan yang terarah dan terstruktur. Tidak berlaku quotes “let it flow” (hidup ikut alur), quotes yang jika dibaca terlihat memvalidasi positif, padahal quotes semacam itu memancing akal budi kita untuk cukup menjadi wanita seperti anggapan publik.
sebagai perempuan yang bebas jangan mau didikte oleh pihak luar. Kita harus benar-benar hadir di tengah hiruk pikuk transformasi digital yang semakin kesini dikuasai oleh oknum tidak terarah. Kita harus hadir sebagai perempuan yang “mbedani”, cakap, dan percaya diri.
Isi wadah yang kita miliki dengan ilmu duniawi dan ilmu ukhrowi. Yo ngaji yo kuliah. Niatkan sebagai muhasabah diri atau bahasa kerennya self-awareness. Cari apa yang kita butuhkan dan cari tahu juga bagaimana cara memenuhinya dengan akal sehat dan cara yang baik.
Nantinya, saat kita bisa hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai perempuan yang bebas, maka akan terasa makna hidup sebenar-benarnya. Makna menjadi seorang perempuan. Menyadari mengenai hakikat perempuan dengan sesadar-sadarnya.
Menilik kembali makna hidup
Kalau berbicara mengenai makna hidup, saya kira semua orang punya standar dan versi terbaiknya masing-masing. Tetapi, Ning Imaz menasihati kepada kita, utamanya sebagai perempuan, bahwa makna hidup ada ketika kita berbahagia. Berbahagialah kita. Bersyukur menjadi bagian dari kaum yang katanya susah dimengerti perasaannya.
Kemudian romantisasi apapun yang kita miliki saat ini. Dan konsep berbahagia ini tidak bisa jika tidak dikaitkan dengan asmara, iya bukan?. Pastinya. Maka sebelum kita pada akhirnya menjadi milik seseorang untuk seumur hidupnya, prioritaskan diri kita sebagaimana kiprah Ummul Mu’minin dan sebagaimana Konsep Perempuan Positif yang sudah dibahas. Cari lelaki yang bisa menghargai dan melihat value yang sudah kamu bangun, dengan tetap merawat ilmu juga menjaga nilai istimewa sebagai seorang perempuan, dengan adab dan akhlak, dengan ta’dzim wa ta’lim.
Bertawakkal sampai “tutuk”, sampai pada titik bahwa tidak ada yang lebih indah dari coretan takdir Gusti Allah. Ibarat takdir yang kita wishlist-kan adalah satu batang bunga mawar, maka keindahan takdir dari Allah SWT adalah seindah satu ikat bunga mawar. Yakinlah bahwa yang baik akan dipertemukan dengan yang baik. Jika kita terlepas dari semua hal tersebut, maka satu maqolah yang menggambarkan adalah “Jika tidak dihiasi dengan ilmu dan agama, maka perempuan akan gila dengan perasaannya”.
Last but not least, tetap semangat ya kita, semangat mencapai titik puncak kebahagiaanmu, semangat ngaji dan kuliahnya. Temukan versi terindah dari apa yang sudah kita perjuangkan dan kita hadirkan.
Akhir kata, besar rasa terima kasih saya kepada Ning Imaz yang sedikit banyak “nggugah awak” dengan cerita dan dawuh yang diberikan. Menjadi sadar bahwa kita tidak boleh kalah atas kiprah dan perasaan kita sendiri. Maturnuwwun sudah meng-Kartini-kan label perempuan di era yang serba viral dan fyp ini. Salam Ta’dzim dari saya dan teman-teman saya.