شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (Al-Baqarah: 185).
Almunawwir.com – Selama ini doktrinasi yang kita terima dari guru-guru, para kiai, ustadz, dan lain sebagainya, yakni Al-Qur’an diturunkan dari Lauhul Mahfuz.
Kemudian transit di Baitul Izzah dan secara berangsur diturunkan kepada Nabi Muhammad sesuai konteks peristiwa yang terjadi.
Ilustrasi ini mengasosiasikan bahwa wahyu Tuhan turun dari atas (langit) ke bawah (dunia). Maka secara tidak langsung, Allah pun berada di atas (langit). Padahal dalam ilmu akidah, Allah memiliki sifat mukhalafatuhu li al-hawadits (berbeda dari makhluk-Nya).

Namun apakah benar seperti itu, yakni kata nazala/unzila/nuzul, serta turunan kata lainnya, bermakna sudut arah dari atas ke bawah seperti vertikalitas rotasi?
Jika makna “diturunkan” diartikan demikian, ini melanggar prinsip-prinsip ilmu akidah. Sebaliknya, bila tidak mengartikan “diturunkan” dari atas ke bawah, maka sejatinya wahyu itu tidak pernah diturunkan, melainkan diberikan atau “dioper” karena sejajar.
Lalu bagaimana meluruskan pemahaman-pemahaman semacam ini?
Allah: Subjek Wahyu
Pertama, kita dapat lihat dari sisi subjek wahyu, yakni Allah Swt. Kita perlu menyepakati terlebih dahulu bahwa Allah Swt. itu suci dan berbeda dari semua makhluk-Nya (tanzih dan mukhalafatuhu li al-hawadits).
Jika manusia mempunyai kekurangan, maka Allah tidak. Allah tidak sama (tasybih) dengan makhluk yang diciptakan-Nya. Syeikh Muhammad al-Fudhali dalam kitab Kifayat al-Awam menerangkan hal demikian:
فهو تعالى منزه عن الجوارح من فم وعين وأذن وغيرها فكل ما خطر ببالك من طول و عرض وقصر وسمن فالله تعالى بخلافه تنزه الله تعالى عن جميع أوصاف الخلق
“Allah Swt terlepas dari anatomi anggota tubuh seperti memiliki mulut, mata, telinga, dan lainnya. Semua yang terlintas dalam pikiran seperti panjang, lebar, pendek, gemuk, Allah berbeda dari itu semua. Allah Swt suci dari semua sifat yang dimiliki makhluk-Nya.”
Kedua, di sisi lain Allah juga mempunyai sifat Qidam (Maha Awal), Syeikh al-Fudhali menegaskan:
ومعناه عدم الأولية فمعنى كون الله تعالى قديما لا أول لوجوده
“Maknanya (Qidam)yaitu tidak adanya permulaan. Maksud Allah mempunyai sifat Qidam adalah wujud Allah tidak memiliki awal atau permulaan.”
Baca juga:
Ini memberikan satu pengertian bahwa langit yang kita ketahui sekarang merupakan hasil ciptaan-Nya, jadi Allah tidak membutuhkan ruang untuk diri-Nya. Sebab langit itu sendiri manifestasi dari eksistensi Allah. Maka jelas di sini Allah tidak membutuhkan ruang serta waktu.
Alias keluar dari persepsi-persepsi manusia tentang bentuk, arah, dan pengertian. Hal ini didukung dalam beberapa ayat Al-Qur’an, di antaranya:
Dalam surat az-Zukhruf ayat 84 Allah mengatakan:
وَهُوَ ٱلَّذِى فِى ٱلسَّمَآءِ إِلَٰهٌ وَفِى ٱلْأَرْضِ إِلَٰهٌ ۚ وَهُوَ ٱلْحَكِيمُ ٱلْعَلِيمُ
“Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”
Surat al-Hadid ayat 4:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“…Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Ayat 115 dalam surat al-Baqarah:
وَلِلَّهِ ٱلْمَشْرِقُ وَٱلْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجْهُ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Ada satu pengertian umum dari tiga ayat di atas, yaitu jelaslah Allah berada di mana-mana, tidak terbatas, unlimited, mukhalafatuhu li al-hawadits, suatu Zat Universal. Makna ada di mana-mana yakni tidak membutuhkan serta tidak menempati ruang dan waktu.
Al-Qur’an dan Rentang Waktu Penurunan
Ulama kelahiran Mesir, Syeikh Badr ad-Din az-Zarkasyi (1344-1392 M) dalam karyanya al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an menuturkan bahwa ada tiga pendapat terkait prosesi turunnya Al-Qur’an.
Pendapat pertama mengatakan Al-Qur’an diturunkan secara lengkap dan integral pada malam Lailatul Qadar ke langit dunia. Diturunkan bertahap selama 20 tahun, pendapat lain menyebut 23 tahun.
Ada juga pendapat yang mengatakan selama 25 tahun. Sesuai dengan berbagai pendapat ulama terkait lamanya penurunan Al-Qur’an. Sebagaimana penuturan Syeikh az-Zarkasyi:
أحدها أنه نزل إلى سماء الدنيا ليلة القدر جملة واحدة, ثم نزل بعد ذلك منجّما في عشرين سنة أو في ثلاث و عشرين, أو خمس و عشرين, على حسب الاختلاف في مدة إقامته بمكة بعد النبوة
Syeikh az-Zarkasyi melanjutkan pendapat kedua:
والقول الثاني: أنه نزل إلى سماء الدنيا في عشرين ليلة قدر من عشرين سنة, وقيل: في ثلاث وعشرين ليلة قدر من ثلاث وعشرين سنة. وقيل: في خمس وعشرين ليلة قدر من خمس وعشرين سنة, في كل ليلة ما يقدّرالله سبحانه إنزالَه في كل السنة, ثم ينزل بعد ذلك منجّما في جميع السنة على رسول الله ص م.
Baca juga:
Pendapat kedua menyebutkan Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia (sama’ ad-dunya) dalam rentang waktu dua puluh tahun.
Maksudnya, setiap dua puluh malam Lailatul Qadar, selama dua puluh tahun. Adapun Al-Qur’an itu dibacakan oleh Jibril kepada Muhammad menyesuaikan konteks peristiwa.
والقول الثالث: أنه ابتدئ إنزالُه في ليلة القدر, ثم نزل بعد ذلك منجّما في أوقات مختلفة من سائر الأوقات
Pendapat ketiga menyebutkan sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan ke bumi dalam waktu yang berbeda-beda dan secara berkala.
Sebenarnya bila kita mencermati lebih dalam, turunnya Al-Qur’an secara periodik atau berangsur-angsur, menunjukkan sakralitas Al-Qur’an itu sendiri, bukan sebaliknya.
Syeikh Manna’ Khalil al-Qattan (1925-1999 M) dalam kitab Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an memaparkan salah satu hikmah Al-Qur’an diturunkan secara berkala.
Yaitu agar meneguhkan hati Muhammad dalam menjalani dakwahnya yang menghadapi kaum-kaum Arab berwatak sangat keras.
Juga agar memudahkan hafalan sekaligus memahaminya. Karena Al-Qur’an turun dalam konstelasi masyarakat Arab yang tidak lihai baca-tulis. Maka dengan hafalan dapat menjadi catatan di kepala mereka.
Wahyu “Diturunkan” dari Atas ke Bawah?
Setelah pemaparan tentang Allah sebagai subjek wahyu, setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah Swt. tidak berada di mana-mana, melainkan “ada” di mana-mana.
Ketidakmampuan ruang dan waktu dalam menanggung Zat Maha Kuasa di dalamnya, menunjukkan suatu bukti akan Kebesaran Allah.
Berdasarkan kitab Maqayis al-Lughah karya Syeikh Abu Husain Ahmad bin Faris (941-1005 M), beliau menerangkan kata “wahyu” bersumber dari kata: wa-ha-ya. “Wahyun” bermakna isyarat, “al-wahya” memiliki arti sebagai petunjuk.
Secara ringkas, wahyu bisa dimengerti sebagai (1) membisikkan suatu pengertian dalam hati sebagai isyarat, dan (2) wahyu yang disampaikan Malaikat Jibril melalui kata-kata.
Jadi hakikat wahyu itu adalah sesuatu yang bersifat maknawi (tidak berlafaz dan bersuara).
Syeikh az-Zarkasyi menambahkan dalam kitabnya:
اتفق اهل السنة على أنّ كلام الله منزّل, واختلفوا في معنى الإنزال, فقيل: معناه إظهار القرآن, وقيل: إن الله أفهم كلامَه جبريل وهو في السماء, وهو عالٍ من المكان وعلّمه قراءته, ثم جبريل أدّاه في الأرض وهو يهبط في المكان
Ulama sepakat sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan pada malam Lailatul Qadar. Namun ada silang pendapat pada bagian apakah wahyu diturunkan hanya sekali pada satu malam Lailatul Qadar, atau lebih dari itu.
Baca juga:
Ada yang mengatakan al-inzal bermakna al-izhar, yakni artinya menampakkan, menghadirkan, atau menjelaskan.
Ada pendapat lain menyebutkan Malaikat Jibril diberi pemahaman oleh Allah ketika ia berada di langit, lalu Jibril turun (go down) ke bumi serta menyampaikannya kepada Muhammad.
Makna “turun” atau “diturunkan” Al-Qur’an dalam pengertian sebagai wahyu, tentu tidaklah dimaknai secara harfiah atau leksikal saja.
Tetapi perlu dimaknai sebagai majaz, yaitu penyampaian wahyu (revelation) oleh Allah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad. Maksudnya al-Qur’an “dibawa” dari tempat yang mulia.
Kata nazala memberi pengertian keagungan dan kesucian wahyu, bukan perpindahan dari posisi atas ke bawah.
Sebab hakikatnya Al-Qur’an atau wahyu tidak memiliki lafaz, gerak, ataupun suara (nonmateri), artinya tidak memiliki posisi juga.
Epilog
Sangat tidak masuk akal bagi Allah yang Maha Agung menempati ruang-waktu, sehingga “diturunkan” Al-Qur’an dimaknai seperti rotasi vertikal dari posisi atas ke bawah. Karena, hakikat wahyu itu pun berbentuk abstrak, alias tidak berbentuk materi atau fisik.
Berbasis pada uraian-uraian di atas, sejatinya wahyu tidak pernah “diturunkan” (dalam pengertian dari atas ke bawah). Melainkan wahyu “disampaikan” kepada Muhammad dari tempat yang suci dan agung.