Almunawwir.com-Sebagai insan kamil, manusia telah dibekali Allah Swt. dengan tiga medium keilmuan berupa indra, akal, dan hati. Perihal tersebut menjadikan manusia berperan sebagai seorang abdi sekaligus khalifah di muka bumi. Oleh karenanya, mereka mengemban tugas untuk menjaga hubungan yang baik kepada Allah Swt. dan manusia.
Keduanya merupakan kendaraan vertikal dan horizontal untuk memutakhirkan manusia menjadi hamba yang istimewa dalam versi terbaik-Nya. Akan tetapi, semua tujuan tersebut dapat tergapai tatkala diiringi dengan keteguhan niat mencari ridha dan kasih sayang Allah Swt. semata.
Tentunya melalui hablun minannass manusia telah ditetapkan Allah sebagai makhluk sosial yang harus merajut interaksi simbiosis mutualisme. Secara tidak langsung, mewajibkan mereka berjuang keras untuk beradaptasi, bersosialisasi, dan berpartisipasi antar sesamanya. Di sisi lain, Allah Swt. juga mengibaratkan kebaikan yang mereka lakukan hakikatnya tertuju untuk dirinya sendiri. Perihal ini selaras dalam penggalan surah Al-Isra’ ayat 7:
اِنْ اَحْسَنْتُمْ اَحْسَنْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ ۗوَاِنْ اَسَأْتُمْ فَلَهَاۗ
“Jika berbuat baik, (berarti) kamu telah berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, (kerugian dari kejahatan) itu kembali kepada dirimu sendiri.”
Sayangnya, belakangan ini manusia modern mulai kesulitan memanajemen langkah horizontalnya secara proposional. Mayoritas mereka menjadi individu yang hilang kesadaran dan identitas dirinya. Sudut pandang ilmu psikologi menyebut fenomena ini dengan People-Pleaser. Susan Newman, seorang psikologi dari Amerika Serikat mendefinisikan People-Pleaser adalah kecenderungan seseorang yang menomorsatukan kebahagiaan orang lain.

Dr. Fahrudin Faiz juga menyebutkan bahwa orang yang terjangkit people-pleaser mempunyai 4 karakter, diantaranya: Pertama, kesenangan dirinya terletak pada kebahagiaan orang lain; Kedua, cenderung menyetujui semua permintaan orang lain; Ketiga, selalu nethink (negatif thinking) ketika membuat orang lain marah atau kecewa; Keempat, selalu mengabaikan kenyamanan diri sendiri.
Jadi, lahiriahnya orang yang pleaser seolah-olah peduli terhadap urusan orang lain. Padahal targetnya hanya ingin sekedar dianggap positif saja.
Baca Juga:
Dalam surah Al-Ma’idah ayat 2, Allah memerintahkan manusia untuk saling tolong-menolong. Imam Wahbah az-Zuhaily juga menjelaskan bahwa kata البر (al-birru: kebaikan) dalam ayat tersebut hanya disinergikan kepada kebaikan. Maka, Allah Swt. benar-benar melarang manusia menyalahgunakannya dalam perbuatan dosa dan maksiat.
Adapun pada akhir penggalan ayat, terdapat penggunaan kaidah lafzdul jalaalah (Allah) yang disebutkan dalam bentuk isim zhahir —sebenarnya juga bisa menggunakan isim dhamir—. Tidak lain tujuannya untuk menakuti manusia agar tidak membangkang syariat Allah. Sedangkan menurut Prof. Quraisy Syihab dalam Tafsir al-Misbah, tolong-menolong dalam ayat tersebut bersimpul pada prinsip manusia agar selalu menjalin kerja sama yang berlandaskan kebaikan dan ketakwaan.
Namun, dalam ayat lain Allah Swt. juga membatasi manusia supaya tidak terlalu pleaser ketika membantu orang lain. Sebagaimana dalam surah Al-Baqarah ayat 286 Allah Swt. berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ
“Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya.“
Menurut pemahaman penulis, ayat ini mengandung pesan bahwa hendaknya manusia bisa menakar kemampuan yang diberikan Allah dengan sebaik-baiknya. Maknanya, Allah juga melarang manusia menggunakan potensinya secara berlebihan, kecuali dalam batas kesanggupannya. Contoh kecilnya, tatkala Allah memberikan waktu luang.
Hal tersebut menandakan bahwa manusia diperintahkan menebarkan kemanfaatan. Lain halnya, ketika Allah tidak memberikan waktu luang, namun manusia tetap bersikukuh menyempatkan waktu sempitnya hanya karena ingin dianggap baik. Maka hal tersebut dapat menjadikan Allah murka. Maka dari itu, sangat jelas bahwa fenomena People-Pleaser bertolak belakang dengan pesan kandungan Al-Qur’an.
Di sisi lain, orang yang pleaser juga cenderung berlandaskan teori “asal bapak senang”. Sehingga, menjadikan bentuk ta’awun yang Allah maksud menjadi salah haluan, lantaran hanya berpusat pada tuntutan kebahagiaan orang lain. Dr. Fahrudin Faiz dalam channel youtubenya “Ngaji Filsafat” juga meluruskan bahwa sebenarnya ajaran People-Pleaser ini sudah benar, hanya saja implementasinya yang terlalu berlebihan.
Maka, adanya fenomena ini harus diluruskan dengan motivasi “Allah-Pleaser” sebagai poros utama. Alhasil, kebaikan yang dilakukan tetap berkiblat pada semboyan lillah. Tidak lain tujuannya supaya seorang muslim tidak mudah menjadi pribadi yang gegana (gelisah, galau, merana). Terlebih tatkala dijauhi, dicibir, diejek, atau bahkan digunjing orang lain.
Mengutip laman halodoc.com, bahwa selain berbahaya bagi kesehatan jiwa, people-pleaser juga dapat berimbas pada kesehatan mental. Jadi, orang yang merasa dirinya pleaser harus segera melakukan beberapa tindakan. Seperti, mengatur ulang mindset bahwa tujuan hidup tidak melulu membuat orang lain senang.
Kemudian, harus lebih sigap menyaring setiap permohonan orang lain, serta tidak terlalu memaksakan diri agar selalu terlihat baik dalam pandangan orang lain. Dengan begitu, tatkala hendak membantu orang lain, salah satu hal yang patut diperhatikan ialah merefresh niat dengan ketulusan demi menebarkan ke-Maha Baik-annya Allah Swt..
Baca Juga:
Maka, dari pemaparan di atas penulis menarik kesimpulan bahwa ajaran al-Qur’an memang mengharuskan manusia untuk saling meringankan beban. Dalam sabdanya, Nabi Saw. juga menguatkan bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Maka, berbuat baik tetaplah dianjurkan, namun bukan dalam level People-Pleaser melainkan Allah-Pleaser.
Jadi, ketika membantu setiap orang, kita juga diwajibkan memperhatikan kapasitas kemampuan diri kita. Dikarenakan Allah melarang kita menjadi manusia yang pleaser atau melampaui batas, seperti memaksakan sesuatu yang bukan merupakan kemahiran kita. Apalagi berujung menjadikan diri kita sebagai relawan atas kebahagiaan orang lain.
Oleh karenanya, Imam Syafi’i juga berpesan bahwa kita tidak akan mampu menyenangkan semua orang. Namun, cukup bagi kita untuk memperbaiki hubungan dengan Allah, dan tidak terlalu mempedulikan penilaian orang lain.
Penulis: Siti Nur Lailatul Azizah
(Santri PP. Sunan Ampel Kota Kediri, dan Mahasiswa IAIN Kediri)
Editor: Redaksi
