Almunawwir.com – Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa khidmah 2022-2027 K.H. Ahmad Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus dalam ceramahnya pada Haul ke-34 Almaghfurlah K.H. Ali Maksum memuji bahwa kiai-kiai zaman dahulu sungguh luar biasa.
Beliau-beliau bisa mendidik dan berdakwah kepada umat hingga bersedia melaksanakan keberagamaan, tanpa merasa seperti sedang melakukan keberagamaan.
Gus Mus mencontohkan masyarakat pedesaan yang biasa menjamu tamu, bersikap baik kepada tetangga, tolong-menolong, hidup sederhana, dan lain sebagainya.
Baca juga: Sepak Bola dan Nilai Persaudaraan
Ketika bertamu di desa, pasti Anda akan dihormati. Belum ditanya, sudah disuguhi minuman—setidaknya teh tawar. Apa yang mereka punya dikeluarkan semuanya demi menghormati tamu.
Kata Gus Mus saat berbicara dalam majelis haul serta Haflah Khotmil Qur’an yang diselenggarakan di Halaman Asrama Selatan Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum, Sabtu (3/12/2022) siang.
Gus Mus juga mencontohkan tentang orang-orang desa yang tidak ikut menempati sebuah rumah, tetapi rela berbondong-bondong menurunkan genting, menaikkan reng, dan sebagainya.
Atau ibu-ibu yang secara tulus berduyun-duyun membawa gula, beras, serta hasil bumi lainnya untuk dibawa ke rumah orang yang sedang berkabung. Lebih lanjut, Gus Mus mengatakan bahwa orang-orang desa itu mungkin tidak tahu hadis:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
Artinya: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya” (HR: Bukhari-Muslim).
Baca juga: Dawuh Kiai Hafidh, Nobar Timnas dan Self Healing ala Santri
Namun, mereka tahu bagaimana bersikap baik kepada tetangga dan saudara, lalu menjalani hidup sederhana, narimo ing pandum, dan seterusnya.
Ini mungkin yang dinamakan: agama telah menjadi budaya. Semua amaliah agama yang diajarkan oleh Rasulullah SAW sudah menjadi budaya.
Ujarnya.
Gus Mus membaginya menjadi dua kategori: ada santri, dan ada masyarakat pesantren atau masyarakat yang dekat dengan kiai pesantren. Selain itu, Gus Mus juga menerka bahwa tradisi tersebut sudah dimulai ketika Wali Songo menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Menurut pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh Rembang ini, sumur milik orang-orang desa zaman dahulu: setengah bagian menghadap ke jalan, dan setengahnya lagi menghadap ke rumah. Timbanya pun ada dua: satu untuk yang punya rumah, dan yang satu lagi untuk orang luar yang barangkali ingin mampir cuci kaki dan lain sebagainya.
Baca juga: KH. Buchori Masruri tentang KH. Ali Maksum (Bagian II)
Sekarang mungkin sudah tidak ada. Karena bahkan, banyak rumah di desa-desa yang sudah mulai dipagari tinggi-tinggi. Sudah dipagari tinggi, pada bagian atasnya ditancapi pecahan kaca pula.
Ungkapnya yang disertai tawa para hadirin.
Kiai yang pernah berkuliah di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir ini kemudian kembali memuji para kiai zaman dahulu dimana saat berada di dalam pesantren mampu menjadi seorang pengajar dan pendidik yang baik, lalu ketika di luar pesantren sanggup menjadi seorang dai yang ulung.
Tidak hanya ngomong, tetapi juga menerjemahkannya dengan menjadi perilakunya, menjadi akhlaknya. Nabi Muhammad SAW adalah manusia pertama yang mengaplikasikan Al-Qur’an. Selanjutnya para kiai, sebagai penerus, meneladani demikian. Agar orang-orang awam yang tidak sempat atau tidak bisa mendalami Al-Qur’an, bisa merasa cukup hanya dengan ‘nyawang’ kiai saja.
Lanjutnya.
Baca juga: Sejarah Metode Halaqah dalam Pengajaran Al-Qur’an
Gus Mus menyampaikan bahwa pengejawantahan sikap tersebut ada pada K.H. Ali Maksum. Banyak santri merasa Kiai Ali mengasihi mereka dan menganggap dirinya spesial. Padahal sesungguhnya memang Kiai Ali mengasihi semua santrinya, dekat dengan semua santrinya.
Hingga semua santri tidak ada yang memanggil K.H. Ali Maksum dengan sebutan Kiai. Melainkan, Pak atau Bapak.
Inilah Keistimewaan Kiai Ali.
Kata Gus Mus.
Acara haul K.H. Ali Maksum bertepatan dengan tanggal 9 Jumadil-Ula 1444 H. Di Rembang, Lasem, Pasuruan, dan pesantren-pesantren lain, haul biasanya bertepatan dengan bulan Rabi’ul-Awal, yakni bulan ketiga penanggalan Islam atau bulan Mulud dalam penanggalan Jawa.
Jadi dalam acara urutannya: Haflah Khatmil Quran, lalu Maulid Nabi Muhammad SAW, dan kemudian Haul. Memuliakan Alquran, lalu Alquran berjalan—Nabi Muhammad SAW, dan kemudian para kiai yang diperingati.
Pungkas Gus Mus
Oleh: Ahmad Mufid (Penulis Tsaqafah.id, Santri PP. Al-Munawwir Krapyak, Alumni Universitas Amikom Yogyakarta)